JAKARTA – Pengembangan energi baru terbarukan (EBT) diyakini akan lebih kompetitif apabila didukung insentif fiskal yang memadai. Insentif EBT juga harus rasional seiring dengan insentif untuk bahan bakar minyak (BBM).

Diskusi bertema Sejahterakan Masyarakat Lewat Energi Baru dan Terbarukan di Jakarta, Kamis (28/6).

“Salah satu masalah untuk mengembangkan EBT terletak pada aspek fiskal dan non fiskal,” kata Wahyu Winardi, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Pajak Kementerian Keuangan dalam diskusi bertemakan Sejahterakan Masyarakat Lewat Energi Baru dan Terbarukan di Jakarta, Kamis (28/6).

Energi berbasis fosil dalam jangka panjang diprediksi akan habis. EBT pun akan memegang peranan penting bagi upaya elektrifikasi.

Menurut Wahyu, dukungan fiskal tersebut dapat berbentuk bea masuk dibebaskan dan pajak. Saat ini,  insentif tersebut baru berlaku untuk panas bumi (geothermal).

Abadi Poernomo, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), mengatakan bahwa harga EBT sudah semestinya terjangkau dan bisa diakses  masyarakat secara luas.

“Yang jadi kendala kita adalah affordabilitynya. Corporate tax-nya tinggi, sehingga tidak bisa compete dengan pembangkit listrik batu bara,” kata Abadi.(RA)