JAKARTA – Pemerintah mengakui ada gap cukup besar dalam pengelolaan minyak dan gas di Indonesia dibanding negara lain. Untuk bisa mengejar dan menipiskan gap tersebut dibutuhkan kemampuan mumpuni, salah satunya dari sisi sumber daya manusia dan teknologi.

Untuk bisa mengejar keduanya, mau tidak mau Indonesia harus membuka diri dengan bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar migas papan atas dunia.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan keterlibatan asing sudah lumrah dalam kegiatan pengelolaan migas. Untuk mempersempit gap yang ada, salah satu caranya dengan belajar dari orang yang mampu dan terbukti keahliannya dalam mengelola sumber daya alam.

“Kalau mau menutup gap dari human resources, bukan mengatakan kalau asing tidak boleh masuk. Kita harus terbuka kepada investasi yang masuk sehingga bisa belajar mengelola pengelolaan sumber daya alam”, kata Arcandra, akhir pekan lalu.

Sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia pun dituntut mampu meningkatkan kompetensi diri, sehingga dapat menjadi human capital yang tidak kalah dari bangsa asing.

“Menjadi human capital artinya kita harus punya kompetensi. Seseorang disebut kompeten apabila memenuhi tiga pilar, yaitu ilmu, skill dan experience,” ungkap Arcandra dalam keterangan tertulisnya.

Selain sumber daya manusia yang masih tertinggal salah satu alasan Indonesia masih membutuhkan investasi asing dalam industri migas adalah kebutuhan akan dana yang sangat besar.

Arcandra mengatakan, pengelolaan sumber daya alam di Indonesia saat ini mulai meninggalkan cara-cara konvensional. Kegiatan eksplorasi atau pencarian sumber minyak baru, banyak dilakukan di wilayah lepas pantai dan risikonya pun semakin meningkat. Selain dibutuhkan sumber daya manusia yang kompeten, dibutuhkan pula teknologi dan pendanaan yang besar untuk dapat mengelolanya.

Untuk pengelolaan migas lepas pantai dibutuhkan sekitar US$15 juta – US$ 20 juta untuk eksplorasi di shallow water. “Untuk deep water, satu sumurnya bisa mencapai US$100 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun,” ungkapnya.

Menurut Arcandra, satu sumur (deep water) jika satu sumur menghabiskan dana sebesar Rp 1,5 triliun, maka untuk empat sumur bisa mencapai Rp 6 triliun. ‘Kalau tidak ketemu minyaknya, tidak akan kembali Rp 6 triliun itu,” tukas dia.

Arcandra mengungkapkan, hal seperti inilah yang harus dapat dipahami bahwa ini bukan permasalahan Indonesia tidak mampu mengelola, melainkan karena dalam pengelolaan sumber daya alam tidak semua berujung pada kesuksesan atau ada risiko disitu.

“Dan kita juga harus mengakui ada gap yang cukup besar, baik dari sisi human resources, teknologi dan juga pendanaan yang dimiliki,” tandas Arcandra.(RI)