JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai banjir di Kalimantan Selatan (Kalsel) disebabkan alih fungsi hutan di wilayah tersebut.

Dwi Sawung, Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi, mengungkapkan Kalimantan Selatan memiliki luas wilayah 3,7 juta hektare yang terdiri dari 13 Kabupaten/Kota. Seluas 50 % dari 3,7 juta hektare wilayah Kalsel sudah dibebani izin industri ekstraktif.

“Tambang 33% dan perkebunan kelapa sawit 17%. Ini diluar HTI(Hutan Tanaman Industri) dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Kami (Walhi) masih melihat faktor terbesarnya (penyebab banjir) adalah alih fungsi hutan menjadi kebun sawit dan tambang,” ungkap Sawung, kepada Dunia Energi, Rabu (20/1).

Berdasarkan hasil analisis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) diketahui ada kontribusi penyusutan hutan dalam kurun 10 tahun terakhir terhadap peningkatan risiko banjir di wilayah Kalsel.

Berdasarkan data Lapan, dari 2010 sampai 2020, telah terjadi penyusutan luas hutan primer seluas 13.000 hektare, hutan sekunder seluas 116.000 hektare, sawah 146.000 hektare, dan semak belukar 47.000 hektare. Sedangkan area perkebunan di wilayah itu menurut data perubahan tutupan lahan luasnya bertambah hingga 219.000 hektare.

Selain itu, hasil analisis curah hujan berdasarkan data satelit Himawari-8 menunjukkan bahwa liputan awan penghasil hujan terjadi sejak 12 hingga 13 Januari 2021 dan masih berlangsung hingga 15 Januari 2021 di wilayah Kalimantan Selatan.

Curah hujan ini menjadi salah satu penyebab banjir yang melanda Provinsi Kalimantan Selatan pada tanggal 13 Januari 2021.

Lapan juga meneliti luas genangan akibat banjir pada 12 Juli 2020 (sebelum banjir) dan 13 Januari 2021 (saat/setelah banjir) dengan menggunakan data satelit Sentinel 1A.

Menurut hasil perhitungan, banjir menimbulkan genangan paling luas di Kabupaten Barito Kuala (sekitar 60.000 ha) disusul Kabupaten Banjar (sekitar 40.000 ha), Kabupaten Tanah Laut (sekitar 29.000 ha), dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah (sekitar 12.000 ha).

Genangan juga muncul di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (sekitar 11.000 ha), Kabupaten Tapin (sekitar 11,000 ha), dan Kabupaten Tabalong (sekitar 10.000 ha).

Sementara di Kabupaten Balangan, Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara, Hulu Sungai Utara, Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Murung Raya luas genangannya menurut data Lapan antara 8.000 sampai 10.000 ha.

Tim tanggap darurat bencana Lapan menganalisis penyebab banjir yang terjadi 12 sampai 13 Januari 2021 di Provinsi Kalimantan Selatan dengan menggunakan data cuaca dan luas tutupan lahan.

Lapan menganalisis perubahan tutupan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito menggunakan data mosaik Landsat tahun 2010 dan 2020. Data-data yang digunakan merupakan data satelit penginderaan jauh dengan resolusi menengah. Hasil pengolahan data masih bersifat estimasi, belum dilakukan verifikasi serta validasi untuk mengetahui tingkat akurasinya.

“Klaim cuaca ekstrim tanpa menunjukan data berseri, jadi semacam pembenaran saja,” tandas Sawung.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK)  sebelumnya menyatakan banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan (Kalsel) disebabkan anomali cuaca dan bukan soal luas hutan di DAS Barito wilayah Kalsel.

DAS Barito Kalsel seluas 1,8 juta hektar hanya merupakan sebagian dari DAS Barito Kalimantan seluas 6,2 juta hektar. DAS Barito Kalsel secara kewilayahan hanya mencakup 39,3% kawasan hutan dan 60,7% Areal Penggunaan Lain (APL) bukan hutan.

“Kondisi wilayah DAS Barito Kalsel tidak sama dengan DAS Barito Kalimantan secara keseluruhan. Sangat jelas bahwa banjir pada DAS Barito Kalsel, yaitu pada Daerah Tampung Air (DTA) Riam Kiwa, DTA Kurau dan DTA Barabai karena curah hujan ekstrim, dan sangat mungkin dengan recurrent periode 50 hingga 100 tahun,” ungkap Karliansyah Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK, dalam paparan secara virtual Selasa (19/1).

Menurut Karliansyah, penyebab utamanya terjadi anomali cuaca dengan curah hujan sangat tinggi. Selama lima hari dari tanggal 9-13 Januari 2021, terjadi peningkatan 8-9 kali lipat curah hujan dari biasanya. Air yang masuk ke sungai Barito sebanyak 2,08 miliar m3, sementara kapasitas sungai kondisi normal hanya 238 juta m3.

Karliansyah mengatakan, daerah banjir berada pada titik pertemuan dua anak sungai yang cekung dan morfologinya merupakan meander serta fisiografi-nya berupa tekuk lereng (break of slope), sehingga terjadi akumulasi air dengan volume yang besar.

“Faktor lainnya yaitu beda tinggi hulu-hilir sangat besar, sehingga suplai air dari hulu dengan energi dan volume yang besar menyebabkan waktu konsentrasi air berlangsung cepat dan menggenangi dataran banjir,” kata Karliansyah.(RA)