JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan sedang dalam tahap mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) skala kecil.

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, mengatakan pemerintah mempertimbangkan nuklir dan telah menempatkan strategi besar untuk dekarbonisasi.

“Saat ini Kementerian ESDM mengikuti setiap tahapan kegiatan yang tertulis dalam RPJMN 2020-2024 sebagai roadmap untuk PLTN,” kata Dadan, baru-baru ini.

Menurut Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN),  nuklir sebagai energi yang bersih, ramah lingkungan dan berkelanjutan sebagai opsi yang sangat patut dipertimbangkan (viable option) dan solusi praktis untuk perubahan iklim.

“Tetapi, masih banyak kesalahpahaman dan salah persepsi dari berbagai pihak tentang nuklir,” kata Satya.

Satya menambahkan bahwa nuklir memiliki densitas energi terbesar daripada bentuk energi lainnya karena tidak menghasilkan emisi CO2 dan CH4 yang membahayakan lingkungan, hanya membutuhkan footprint yang lebih sedikit sehingga tidak mengganggu ekosistem.

“Hanya membutuhkan material yang sedikit untuk pembangunan dan lebih sedikit penambangan untuk bahan bakar, memiliki limbah yang lebih sedikit dan dikelola dari awal hingga akhir, serta tidak merusak dan membahayakan satwa ketika sedang beroperasi,” kata dia.

Satya menambahkan pembangunan PLTN seharusnya tidak pakai dana APBN.

Mark Nelson, Founder dan Ketua dari Komunitas Nuklir Dunia Stand Up for Nuclear, mengungkapkan bahwa Jerman pada tahun 2018 pada sistem kelistrikan yang audah terbangun (540 TWh) rata-rata menghasilkan 510 gram CO2 per kWh, sedangkan Perancis pada tahun 2018 pada sistem kelistrikan yang sudah terbangun (547 TWh) rata -rata menghasilkan 51 gram CO2 per kWh.

“Jerman mengandalkan energi terbarukan dan sudah menutup PLTN yang dimiliki, sedangkan Perancis yang terus menggunakan PLTN menunjukkan
adanya perbedaan dalam sisi ketergantungan karbon yang mana Perancis secara keseluruhan
terbukti lebih bersih,” kata dia.

Bjorn Peters, Akademisi Jerman, mengungkapkan kegagalan dari target transisi energi Jerman yang mengandalkan energi terbarukan dan menunjukkan bahwa Jerman sendiri memiliki instensitas karbon yang cukup tinggi dalam produksi listriknya.

“Ini menunjukkan bahwa kebijakan transisi energi dengan menggunakan energi terbarukan seperti Jerman, masih tetap belum dapat membuktikan adanya peran untuk menurunkan tingkat
perubahan iklim di negara tersebut,” kata dia.

Thorcon International Pre.Ltd, Independent Power Producer (IPP), telah menyatakan keseriusan untuk melakukan investasi sebesar US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 17 Triliun untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT) di Indonesia. PLTT pertama di targetkan akan memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sekitar 10%.

PLTT akan dibangun dengan menggunakan model desain struktur Kapal dengan panjang 174 meter dan lebar 66 meter, yang setara dengan tanker kelas Panamax ini rencananya akan di bangun oleh Daewoo Shipyard & Marine Engineering (DSME) di Korea Selatan, yang merupakan galangan kapal nomor 2 terbesar di dunia.

Bob S Effendi, Kepala Perwakilan Thorcon International, menyampai telah memiliki roadmap persiapan yang sejalan dengan roadmap PLTN yang diatur dalam RPJMN 2020-2024. Thorcon sendiri telah melakukan Kajian Pengembangan dan Implementasi PLTT di Indonesia (2019) bekerjasama dengan P3TKEBTKE Balitbang ESDM yang saat itu Dadan Kusdiana menjabat sebagai Kepala Balitbang ESDM

“Hasil kajian tersebut, PLTT Thorcon dianggap sebagai salah satu solusi pembangkit listrik bebas karbon yang layak dipertimbangkan untuk dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik di Indonesia pada periode 2026-2027,” tandas Bob.(RA)