JAKARTA – Berbagai dampak perubahan iklim yang merugikan telah dirasakan
secara global. Menghadapi ancaman yang lebih merugikan, negara-negara telah berkomitmen untuk memerangi perubahan iklim. Sebagai salah satu langkah konkret, transisi energi menjadi langkah
penting untuk meng dekarbonisasi sistem ketenagalistrikan.

Indonesia telah menunjukan perhatian khusus dalam upaya bertransisi
dari penggunaan energi fosil menjadi penggunaan energi terbarukan. Pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk melakukan moratorium batubara, melarang pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batubara (PLTU batubara) dimulai pada 2025. Kebijakan tersebut memiliki tujuan untuk bisa mendekarbonisasi sistem ketenagalistrikan.

Sunandar, Asisten Deputi Utilitas & Industri Manufaktur, Kemenko Perekonomian, menekankan perlunya perhitungan yang cermat sehingga dapat memitigasi risiko ekonomi dari transisi energi. Terutama, pembiayaan transisi energi yang membutuhkan dana besar akan terpusat pada penghentian pembangkit batubara dan pembangunan pembangkit energi baru terbarukan.
“Dengan kondisi saat ini dimana energi kita masih banyak batubara dan EBT baru sekitar 11,2% melakukan transisi terlalu cepat akan membutuhkan dana besar karena kita harus menghentikan pembangkit batubara yang masih beroperasi sekaligus harus membangun pembangkit EBT,” ujarnya, dalam acara diskusi yang diinisiasi oleh Proyek Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) bersama Exploration of Economic Mitigation Potentials through Renewables (ExplorE) pada rangkaian acara EBTKE ConEx 2021, pekan lalu.

Menurut Sunandar, perlu adanya perencanaan mekanisme transisi energi. Serta lebih penting lagi memastikan
ketersediaan pendanaan yang terjangkau bagi semua pihak yang ingin berkontribusi dalam transisi
energi.

Praptono Adhi Sulistomo, Kepala Seksi Perencanaan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan bahwa untuk percepatan pensiun (retirement) PLTU perlu skema pembiayaan dan selanjutnya dikembangkan menjadi pembangkit energi terbarukan yang baru. “Carbon pricing sebagai contoh,
merupakan instrumen pembiayaan yang aturannya telah diterbitkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres),” katanya.

Selain carbon pricing, bentuk pembiayaan inovatif yang diberikan Pemerintah Indonesia meliputi Green Sukuk Ritel, SDGs Bond, juga skema pembiayaan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha
(KPBU). Bentuk-bentuk pembiayaan tersebut merupakan peta jalan yang disiapkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan upaya mitigasi perubahan iklim.

Dewa Putu Ekayana, Ahli Muda Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, menjelaskan bahwa transisi energi membutuhkan pendanaan lebih dari tiga ribu triliun. “APBN digunakan untuk menjadi pendorong transformasi ekonomi hijau di Indonesia. Sejak 2016-2020, APBN telah mendanai 32,6% dari total pembiayaan kebutuhan iklim,” ujarnya.

Sementara Deni Gumilang, Advisor untuk Proyek CASE, menekankan bahwa proses transisi energi perlu penyamaan persepsi serta pengembangan kapasitas dari pihak-pihak terkait dalam transisi, baik dari sektor energi maupun sektor non-energi.

Terpisah Lisa Wijayani, Program Manager untuk Program Ekonomi Hijau Institute for Essential Services Reform (IESR),
mengatakan perlunya upaya peningkatan kesadaran publik (public awareness) terkait Green Bond untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.
Lisa menyampaikan bahwa fasilitas fiskal dan pembiayaan lain yang sedang
disiapkan pemerintah perlu lebih menarik lagi untuk para investor dan pihak swasta.
“Kebijakan tersebut (pembiayaan inovatif) seharusnya dapat menarik minat investor atau pihak awasta misalnya dengan memberikan fasilitas kemudahan atau bunga yang (lebih) atraktif untuk investasi pendanaan yang lebih signifikan,” ujar Lisa.(RA)