JAKARTA – Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) Badan Pemeriksa Keuangan Semester I 2019 menyebutkan PT PLN (Persero) melakukan pemborosan Rp275,19 miliar. Salah  pemborosan yang ditemukan BPK pada specific fuel consumption (SFC) Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) mobile power plant (MPP) Batam yang dioperasikan PLN dengan bahan bakar high speed diesel (HSD), lebih tinggi dibanding batas SFC Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) berbahan bakar minyak. Pemborosannya mencapai Rp198,69 miliar. Selain itu, BPK juga menemukan PLN kehilangan kesempatan menghemat Rp1,1 triliun.

BPK juga menemukan pemborosan pada anak usaha PLN, yakni PT Indonesia Power yang menanggung dampak take or pay (ToP) sebesar Rp36,97 miliar atas jasa sewa compressed natural gas (CNG) pada Pembangkit Listrik Tambak Lorok. Serta permasalahan pemborosan lainnya sebesar Rp39,53 miliar.

Djoko Abumanan Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN, mengakui adanya penggunaan HSD yang menyebabkan pemborosan. HSD lebih dipilih PLN menjadi bahan bakar karena bahan baku gas yang dibutuhkan sulit dikirim ke pembangkit yang ada, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Hal ini mengakibatkan belum tersedianya infrastruktur yang memadai. Apalagi pembangkit yang menggunakan HSD  sebagian besar berada di wilayah Indonesia Timur.

“Jadi di beberapa kontrak ditemukan tidak efisien, di antaranya mesin pembangkit gas dikasih minum HSD. Itu enggak efisien. Masalahnya, gas ada tapi yang bawa ke sana enggak ada, akhirnya pakai HSD,” kata Djoko di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, Kamis (19/9).

Menurut Djoko, PLN sebenarnya sudah merencanakan untuk menggunakan gas karena kontrak pembelian juga sudah diteken antara lain dengan Badan NGL dan BP Tangguh.

“Jadi disiasati dengan gasifikasi di midstream, salah satunya kami punya kontrak LNG dari British Petroleum (BP) Tangguh dan Kilang Bontang, tapi yang membawanya ke situ yang susah,” katanya.

Selain itu, BPK menyatakan PLN telah kehilangan kesempatan untuk melakukan penghematan pada 2018 lalu. Ini karena pembayaran skema Take or Pay  menggunakan proyeksi faktor kesediaan dan klausul pembayaran dengan nilai kurs jual dolar AS pada jual beli listrik Independent Power Producer (IPP), serta pembangkit sewa. Itu menghilangkan kesempatan PLN menghemat masing-masing sebesar Rp676,98 miliar (ekuivalen dengan 2.118.256.289,62 kWh) dan Rp431,27 miliar (ekuivalen dengan 1.383.317.866,00 kWh) selama 2018.

BPK merekomendasikan kepada direksi PLN agar melakukan kajian strategis terkait reserve margin dan Take or Pay atas kWh yang tidak terserap PLN, serta selanjutnya menetapkan batasan reserve margin masing-masing sistem sebagai pedoman penyusunan perencanaan pembangkit.

Hal itu dianggap perlu untuk segera dilakukan karena BPK mengungkap bahwa PLN berpotensi kehilangan kesempatan untuk menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP) atas tidak terserapnya batas minimum energi listrik pada IPP dan sewa.(RI)