JAKARTA – Ketersedian sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia sebenarnya sangat melimpah di berbagai daerah sesuai potensi dan karakteristiknya. EBT juga merupakan sumber energi bersih yang berkelanjutan sehingga bisa menekan emisi.

Dengan demikian, tidak ada alasan Indonesia tidak mementingkan EBT. Sudah sepatutnya Indonesia sejak saat ini secara perlahan meninggalkan sumber energi fosil yang akan usang seperti minyak bumi dan batu bara dimana seiring waktu pemakaian akan habis.

“Sejak dini Indonesia harus serius melakukan percepatan pengembangan EBT sehingga tercapai target bauran energi nasional,” ujar Maman Abdurahman, Anggota Komisi VII DPR di Jakarta, Jumat (28/6).

Pemerintah menargetkan bauran EBT sebesar 23% pada 2025. Selain Indonesia, negara-negara lain saat ini juga berusaha menambah bauran energinya pada EBT.

Maman mengakui pengembangan EBT tidak akan mudah karena berbagai tantangan, baik dari sisi dari infrastruktur, permintaan dan harga jual listriknya. Beberapa potensi EBT pun banyak yang tersebar di daerah terpencil dengan skala yang kecil juga, padahal
sistem interkoneksi masih terbatas.

Selain itu, secara sifat dan kondisi lokasi, pasokan EBT cenderung berubah-rubah atau bersifat intermittent. Ini menyebabkan ketidakstabilan pasokan listrik sehingga pembangkit EBT tidak bisa beroperasi dengan maksimal.

Untuk mengatasi berbagai masalah pengembangan EBT, sebaiknya tidak hanya dilakukan dan diselesaikan pemangku kepentingan ataupun badan penelitian milik negara, namun harus dibantu elemen masyarakat, termasuk dari para akademisi.

Terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT yang saat ini sedang digodok di DPR RI, Maman menyatakan belum bisa menjanjikan RUU tersebut akan selesai dalam tahun ini.

“Kami punya lembaga-lembaga penelitian seperti BPPT, LIPI dan sebagainya, tapi kampus juga perlu aktif memberi masukan dan mendorong pemakaian EBT,” tandas Maman.(RA)