SURINAME dan Guyana. Dua negara bertetangga di Benua Amerika bagian selatan itu jadi buah bibir. Pemicunya adalah temuan cadangan migas di dua negara itu yang bisa dibilang sangat besar apalagi untuk “anak kemarin sore” dalam industri migas dunia ditengah kondisi penuh ketidakpastian seperti saat ini. Berdasarkan data Rystad Energy ECube and UCube, keduanya bertengger di posisi lima besar negara yang sukses menemukan cadangan migas raksasa atau dalam jumlah besar di dunia pada tahun 2020. Suriname berada di posisi kedua dengan temuan  1,7 miliar barel oil equivalent (BOE) hanya satu tingkat dibawah Rusia yang merupakan negara kaya akan minyak dengan temuan 2,7 miliar BOE pada tahun lalu. Sementara Guyana betengger di posisi keempat karena tahun lalu sukses menemukan cadangan migas sebesar 819 juta BOE.

Beberapa perusahaan raksasa dunia berada dibalik kesuksesan penemuan cadangan dalam jumlah besar di dua negara tersebut seperti ExxonMobil, Apache Corporation, Petrobras serta Petronas. Masih dalam data Rystad Energy, jika tidak halangan diperkirakan produksi minyak Guyana akan mencapai hampir 1,2 juta barel per hari pada tahun 2030 mendatang. Sebuah angka yang fantastis untuk “anak kemaren sore” ini.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?. Pada 2030 atau tahun yang sama saat puncak produksi di Guyana, pemerintah Indonesia telah mencanangkan target produksi yang tidak jauh berbeda, yakni mencapai satu juta barel per hari (bph) serta produksi gas sebesar 12 ribu juta kaki kubik per hari (MMscfd). Pertanyannya yang muncul kemudian adalah apakah bisa mencapai produksi sebesar itu ditengah kondisi sekarang? Ditengah belum ditemukannya lagi cadangan dalam jumlah besar atau giant discovery? Guyana sendiri sah-sah saja mematok target satu juta bph, lantaran baru ditemukan cadangan besar di sana pada tahun lalu. Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia bukanlah anak kemarin sore untuk urusan migas. Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), realisasi produksi dikisaran satu juta barel per hari adalah realisasi produksi normal Indonesia di medio 90 hingga 2000an. Bahkan di tahun 70-90an produksi minyak Indonesia berada dikisaran 1,2 juta hingga 1,6 juta bph.

Kondisi itu yang kini sedang ingin diulangi kembali oleh pemerintah, dimana level produksi kembali naik menjadi dikisaran satu juta bph. Lalu bagaimana caranya target tersebut bisa terwujud?

Pemerintah menyadari target tinggi itu tidak akan terwujud tanpa adanya temuan cadangan migas yang baru. Untuk itu kegiatan pencarian cadangan melalui kegiatan eksplorasi harus digencarkan. Hanya saja kembali pertanyaan baru timbul yaitu siapa yang akan melakukan eksplorasi ditengah kondisi ekonomi serta ditengah keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah? Jangan lupa, kegiatan eksplorasi itu adalah kegiatan yang mahal dan sarat akan risiko tinggi. Selain pendanaan besar, eksplorasi juga butuh teknologi kelas wahid. Apalagi kecenderungan potensi cadangan migas Indonesia diyakini berada ke arah timur dan berada di wilayah perairan laut dalam.

Dalam data proyeksi investasi hulu migas yang disusun SKK Migas, total investasi yang dibutuhkan untuk mendorong produksi bisa sampai satu juta bph minyak dan 12 ribu MMscfd gas mencapai US$187 miliar hingga tahun 2030. Jelas itu bukan angka yang sedikitt. Investasi hulu migas tahun ini saja baru ditargetkan mencapai US$12 miliar selanjutnya dua tahun ke depan investasi minimal harus mencapai US$13 miliar per tahun. Lalu 2024 investasi hulu ditargetkan meningkat jadi US$16 miliar dan tumbuh menjadi US$17 miliar pada 2025 dan menjadi US$19 miliar pada 2026. Selanjutnya investasi hulu migas per tahun mulai 2027 adalah US$23 miliar, memang turun di tahun 2028 jadi US$22 miliar. Namun pada tahun 2029 investasi hulu ditargetkan bisa mencapai US$25 miliar dan tahun 2030 sebesar US$26 miliar sehingga total keseluruhan investasi yang dibutuhkan dari 2021 hingga 2030 adalah sebesar US$187 miliar.

Sumber : SKK Migas

Dengan keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah tentu membuat kebutuhan negara akan mitra atau badan usaha jadi semakin tinggi. Tentu untuk melakukan eksplorasi diperlukan perusahaan yang bukan “kaleng-kaleng” melainkan perusahaan besar yang mau mengambil risiko tinggi tadi serta mau “membuang” uangnya untuk mencari cadangan migas di tanah air.

Kebutuhan akan mitra tersebut cukup mendesak, tapi lagi-lagi pertanyannya apakah Indonesia sudah cukup menarik untuk disinggahi para perusahaan berduit?

Widhyawan Prawiraatmadja, pengamat dan praktisi migas mengungkapkan bahwa produksi minyak satu juta bph serta gas 12 ribu MMscfd sebenarnya bukanlah mimpi.  Namun demikian dia mengingatkan pemerintah harus melihat bahwa dalam prinsip dasar produksi migas yang akan memproduksi adalah pelaku usaha yakni Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang melakukan investasi dengan ekspektasi pengembalian atas investasinya.

KKKS sendiri bisa melakukan operasi atas izin dari pemerintah dengan terlebih dulu memastikan cadangan terbukti atas dasar keekonomian. “Dengan demikian, volume migas yang dihasilkan adalah konsekuensi dari kegiatan investasi yang memberikan imbal-hasil yang memadai bagi KKKS,” kata Widhyawan dalam webinar Upaya Industri Hulu Migas Menggapai Satu Juta BOPD & 12 BSCFD, Rabu (28/4).

Negara dan pelaku usaha kata dia tidak mendasarkan keputusan berdasarkan kegiatan bisnis sesaat melainkan keberlanjutan untuk itu beberapa faktor pendukung akan menjadi kunci dalam keberlanjutan berinvestasi tersebut seperti prospek temuan sumber daya, kebijakan fiskal, konsistensi kebijakan. Ketiga aspek tersebut jika memang sudah ada kemudian akan dibandingkan dengan negara produsen migas lain yang juga membutuhkan investasi. Jadi di sini Indonesia tidak sendiri membutuhkan investasi dari luar. Indonesia juga bersaing dengan negara lain.

Pria yang sempat menjadi gubernur OPEC perwakilan Indonesia pada 2015-2016 itu mengungkapkan bahwa di industri migas ada pameo, easy oil is found first, cheap oil is produced first. “Artinya, prospek sumber daya penting, tapi ujung-ujungnya adalah masalah keekonomian atau atas dasar keberlanjutan kegiatan usaha,” ungkap Widhyawan.

Dari situ baru bisa dilihat seberapa menarik atau atraktifkah Indonesia di mata para pelaku usaha. Indonesia yang atraktif jadi penentu dalam mengejar target produksi migas. Pasalnya dari sisi potensi sumber daya Indonesia memiliki potensi yang diyakini tidak sedikit. Berdasarkan data SKK Migas, berdasarkan kajian sejauh ini Indonesia memiliki 128 basin atau cekungan dimana yang berproduksi baru sebanyak 20 basin. Sisanya sebanyak 27 cekungan telah ditemukan adanya potensi hidrokarbon tapi belum diproduksikan. Menurutnya alasan keekonomian lapangan jadi pemicu belum adanya kegiatan di 27 cekungan itu. Lalu yang terpenting masih ada 68 cekungan potensial yang masih belum tersentuh atau belum dibuktikan keberadaan hidrokarbonnya.

Eksplorasi cekungan-cekungan yang ada di Indonesia jadi jalan utama jika mau target tercapai dan bisa menunjang produksi untuk jangka panjang. Untuk itu kebijakan yang stabil sangat diperlukan utamanya kebijakan fiskal yang mampu menunjang “risk vs reward” bagi perusahaan migas bonafid.

Menurut Widhyawan, harus ada korelasi antara jumlah dana yang dikeluarkan (capex spending) dengan volume cadangan yang didapat (discoveries). “Hal itu terbukti sukses di beberapa negara yang selama ini tidak pernah terdengar sebagai produsen migas sebelumnya,” ujarnya.

Dia menilai untuk jangka panjang, kenaikan produksi yang berkelanjutan hanya bisa dicapai melalui kegiatan eksplorasi yang berkesinambungan kemudian keberhasilan eksplorasi akan mengundang kegiatan eksplorasi berikutnya.

“Cekungan yang belum tereksplor pendekatannya sama dengan negara frontier kaya Guyana, kebijakan bagi hasil harus beda dengan saat ini. Investasi dari perusahaan asing yang bonafid hanya terjadi jika konsep risk reward terpenuhi,” ungkapnya.

Kebutuhan akan investor merupakan satu hal yang tidak bisa terbantahkan. Pencarian investor yang mau mengeluarkan duit untuk kondisi sekarang bukan perkara gampang. Banyak tantangan yang membuat para pelaku usaha jauh lebih selektif dalam berinvestasi, selain keekonomian tentu tidak bisa dilupakan bagaimana tren investasi global kini yang semakin intensif ke Energi Baru Terbarukan (EBT). Belum lagi pandemi COVID-19 membuat investasi jelas melambat. Selain itu, harus diakui daya saing industri hulu migas dalam beberapa tahun terakhir tidak terlalu istimewa dimata para pelaku usaha. Ini yang harus dibenahi, peningkatan daya saing.

Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) , mengungkapkan perbaikan fiskal dan pemberian insentif merupakan ikhtiar yang harus dikedepankan untuk memperbaiki iklim investasi dan daya saing hulu migas sehingga bisa berdampak langsung terhadap temuan cadangan dan produksi migas.

Menurut mantan wakil ketua Komisi VII yang membidangi sektor energi itu, pemberian lebih insentif kepada para pelaku usaha bisa jadi solusi yang bisa ditempuh pemerintah. Ia yakin pemberian insentif tidak akan serta merta jadi merugikan pemerintah. Sudah jadi rahasia umum bahwa insentif yang dijanjikan atau direncanakan kerap kali mandeg di tengah jalan lantaran ketatnya evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan sebagai bendahara negara. Dalam pandangan Kementerian Keuangan, pemberian insentif secara langsung jelas akan mengurangi porsi penerimaan negara.

Menurut Satya berdasarkan perhitungan yang juga dilakukan oleh SKK Migas, pemberian insentif fiskal tersebut justru akan berujung pada peningkatan penerimaan negara secara jangka panjang.

Kajian yang dilakukan SKK Migas, menyebutkan peningkatan revenue atau pendapatan pelaku usaha tanpa insentif antara tahun 2020-2040 mencapai US$450 miliar dengan jatah penerimaan negara atau Government Take sebesar US$157 miliar. Namun apabila para pelaku usaha diberikan insentif maka revenue pelaku usaha bisa bertambah sebesar US$398 miliar sehingga total sampai 2040 potensi pendapatan pelaku usaha bisa mencapai US$848 miliar. Ini  akan berdampak juga terhadap penerimaan negara dimana potensi penambahan revenue jika diberikan insentif sebesar US$99 miliar sehingga total yang bisa diterima negara adalah US$256 miliar hingga 2040. Tentu jauh berbeda dengan yang didapatkan ketika tidak ada insentif tambahan ke pelaku usaha.

“Pendapatan negara walaupun persentase dikurangi tapi itu terhadap revenue yang besar maka government take masih cukup US$256 mliar kalau tanpa insentif US$157 miliar. Kita yang tadinya tidak ekonomis jadi ekonomis.,” kata Satya.

Harus diakui, tidak sedikit kalangan yang pesimistis dengan target tersebut dan menilai tidak realistis. Maklum saja sudah lebih dari lima tahun realisasi produksi migas nasional kurang menggembirakan, terlebih untuk minyak. Penurunan produksi terus terjadi baik akibat berkurangnya investasi sebagai dampak harga minyak yang fluktuatif maupun karena kondisi sumur-sumur minyak di Indonesia yang sudah tua. Untuk bisa mencapai target saja tidak kunjung tercapai apalagi jika harus meningkatkan produksi.

Apapun alasannya, “the game has began”. Tidak ada kata terlambat bagi SKK Migas serta seluruh stakeholder lainnya. Pasalnya kebutuhan akan peningkatan produksi semakin kuat lantaran energi fosil, baik itu minyak maupun gas ternyata masih sangat mendesak dan dibutuhkan hingga paling tidak 30 tahun ke depan. Meskipun secara persentase berkurang, secara volume terus meningkat. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menunjukkan proyeksi kebutuhan minyak pada 2030 sebesar 23% dari bauran energi nasional. Angka persentase ini turun dibanding porsi pada 2020 sebesar 28,8%. Akan tetapi dari sisi volume kebutuhan minyak tahun 2030 diproyeksi bisa mencapai 2,27 juta bph, jauh lebih besar dibanding kebutuhan pada 2020 sebesar 1,66 juta bph. Sementara kebutuhan gas secara volume diproyeksikan mencapai 11.728 MMscfd pada 2030, tumbuh dari kebutuhan pada 2020 sebesar 6.557 MMscfd.

Meramu Strategi 

Berat memang apa yang jadi cita-cita SKK Migas. Apalagi kondisi ekonomi dunia maupun nasional tidak sedang kondisi yang baik-baik saja dalam beberapa tahun terakhir. Ini diperparah dengan kehadiran pandemi COVID-19 sejak 2020 lalu sampai sekarang yang sempat menyebabkan harga minyak dunia anjlok drastis, bahkan tahun lalu sempat mencapai US$20-an per barel. Beruntung kini harga mulai merangkak naik.

Tentu saja ramuan yang jitu harus diracik pemerintah, khususnya oleh SKK Migas sebagai regulator hulu migas tanah air perwakilan negara sehingga bisa menghasilkan target yang diinginkan.

Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas, mengungkapkan bahwa untuk mengejar target yang dicanangkan membutuhkan kerja sama dari semua lapisan masyarakat agar kegiatan di lapangan berjalan efektif.

Optimisme untuk mencapai target harus tetap dijaga. Menurut Dwi optimisme tersebut bisa dipertahankan lantaran dari data yang ada Indonesia masih 68 cekungan yang belum dibuktikan keberadaan hidrokarbon.

“Hal ini menunjukkan potensi besar namun perlu disadari bahwa industri migas industri yang perlu pembiayaan besar, teknologi tinggi serta risiko tinggi dan persaiangan antar negara yang makin meningkat,” kata Dwi.

Untuk mendukung misi tersebut kata Dwi industir hulu migas telah menyepakai Rencana Strategis (Renstra) dengan tiga target utama produksi satu juta bph minyak, dan gas 12 MMscfd pada tahun 2030, meningkatkan multiplier effect serta memastikan keberlanjutan lingkungan.

Sumber : SKK Migas

Selanjutnya untuk mencapai target pertama tersebut ada empat strategi yang diramu oleh para pemangku kepentingan di industri hulu migas. Strategi pertama adalah optimalisasi produksi dari lapangan eksisting, percepatan dari reserve menjadi siap untuk diproduksi (R to P). Ini bisa dilakukan percepatan proses Plan of Development (PoD), Penyederhanaan proses bisnis dalam rangka percepatan monetisasi potensi produksi (surat edaran, revisi PTK, dll), Pengembangan lapangan dengan menggabungkan beberapa struktur (OPLL), penggabungan beberapa AFE (Merger AFE).

Percepatan chemical Enhanced Oil Recovery (EOR). Salah satu implementasi EOR yang dikejar di blok Rokan.  PoD Chemical EOR Lapangan Minas sudah mencapai Dynamic Modelling. Kemudian eksplorasi untuk mendapatkan penemuan besar atau giant discovery.

“Ini telah disosialisasikan dan telah disepakati oleh seluruh KKKS yang beroperasi di Indonesia,” ungkap Dwi.

Untuk menuju keempat pilar strategi tersebut SKK Migas telah mengupayakan berbagai jalan keluar dari berbagai permasahalan klasik yang bisa menghadang pencapaian target diantaranya One door service policy untuk memudahkan perizinan. “Proses semakin dipercepat sebelumnya empat hari kerja dan kita harapkan dibawah tiga hari kerja dan akan diteruskan dengan kementerian dan instansi lain, sistem fiskal yang kompetitif, ketersediaan data. Pemerintah target ketersediaan data tuntas akhir 2024,” kata Dwi.

Lalu SKK Migas juga mendorong adanya optimasi biaya melalui I-COSt initiative merupakan program terintegrasi, optimisasi biaya dan proses bisnis. Unit cost benchmarking, cost optimization program, integrated database, AFE Lean Management, forum dan sharing session.

Kemudian ada perbaikan split, Domestic Market Obligation (DMO) price yang lebih menarik, Investment Credit, Depresiasi dipercepat, Sliding Scale.  Ada juga fasilitas perpajakan, pembebasan atau keringanan. Branch Profit Tax (BPT), hingga tax holiday.

Selain itu ada beberapa inisatif lain untuk mendukung pencapaian target yakni digitalisasi Integrated Operation Centre yang sudah berjalan. Penggunaan barang milik negara dengan diterbitkannya PMK 140, fleksibilitas bagi hasil untuk menjaga keekonomian lapangan. Sejauh ini sudah ada dua blok migas yang mendapatkan insentif tersebut yakni blok Mahakam dan Sangasanga. Lalu ada penghapusan PPN LNG serta penundaan pencadangan Abandonment and Site Restoration (ASR) dengan total nilai yang direlaksasi mencapai US$109 juta.

Namun demikian terdapat tantangan dalam upaya mencapai target produksi tersebut misalnya masih rumitnya perizinan, tumpang tindih peraturan pusat dan daerah, sistem fiskal rijit, ketersediaan data, kendala akuisisi lahan, proses monetisasi gas yang lama khususnya blok-blok yang di-remote area atau jauh dari jangkauan infrastruktur. “Dan ketakutan pengambilan keputusan akibat kriminalisasi kebijakan,” ujar Dwi.

Tantangan tersebut bukan tanpa jalan keluar. Kuncinya adalah kemauan karena berbagai instrumen pendukung bisa dicarikan jalan keluarnya. Apabila semua pihak telah sepakat berkeinginan maka target produksi minyak 1 juta bph dan 12 ribu MMscfd gas bukanlah mimpi di siang bolong.(Rio Indrawan)