JAKARTA – PT Freeport Indonesia kembali mengeluhkan kewajiban untuk membangun smelter tembaga. Kali ini manajemen menegaskan bahwa ketidakekonomisan proyek tersebut bisa menyebabkan kerugian sekitar US$300 juta per tahun.

Tony Wenas, Direktur Utama Freeport Indonesia, mengatakan salah satu penyebab utama tidak ekonomisnya proyek smelter sehingga menyebabkan kerugian adalah rendahnya nilai Treatment Charge and Refining Charge (TCRC) sebagai penghasilan utama smelter.

Dengan nilai TCRC saat ini hanya di kisaran US$26 cent per pound tembaga, dan diperkirakan bertahan dalam beberapa tahun ke depan maka ada kerugian sebesar US$ 26 cent per pound tembaga. Dalam perhitungannya, selisih tersebut setara dengan kerugian US$ 300 juta per ton.

Nilai TCRC sebesar itu hanya memghasilkan kerugian karena jika mau sesuai keekonomian dengan kapasitas smelter dua juta ton konsentrat tembaga per tahun yang menelan investasi sebesar US$ 3 miliar, maka nilai TCRC yang dibutuhkan seharusnya US$ 52 cent poer pound.

“Penambang memberikan subsidi US$ 300 juta per tahun. Ini akan berdampak bagi pemegang saham, bagi pemerintah juga akan berdampak,” kata Tony dalam diskusi virtual, Rabu (14/10).

Dia mengatakan, pada awalnya asumsi awal pembangunan smelter memang menjanjikan berdasarkan proyeksi pertumbuhan permintaan yang meningkat serta pasokan dari smelter tembaga yang terjaga. Namun pembangunan smelter tembaga di China sangat pesat sehingga terjadi oversupply produk smelter.

“Pada saat itu kapasitas smelter dunia belum seperti sekarang, saat ini China rajin bangun smelter tembaga di 2003-2004. Ini lah mulai terjadi over capacity, Itu latar belakangnya,” ujar Tony.

Selain itu, pergerakan nilai TCRC juga tidak banyak berubah. TCRC pada 1995 berada di angka US$ 18 cent per pound. Padahal, harga tembaga sudah melesat, dari US$ 60 cent per pound di akhir tahun 1990-an dan menjadi US$ 62 cent pada awal 2000. “Sekarang harga tembaga US$ 3, tapi TCRC tetap US$ 18 cent,” kata Tony.

Selain itu, meskipun smelter sudah terbangun tapi produknya tidak bisa seluruhnya diserap untuk kebutuhan dalam negeri lantaran belum siapnya industri yang menyerap hasil tembaga yang diolah atau dimurnikan.

Menurut Tony, adanya kenyataan tersebut sama saja subsidi diberikan untuk ekspor. Hingga September 2020, progress smelter tembaga Freeport Indonesia baru mencapai 5,86%. Proyek yang berlokasi di JIIPE Gresik, Jawa Timur itu per Agustus 2020 sudah menyerap investasi sekitar US$ 303 juta. Manajemen Freeport Indonesia  berkilah proyek smelter tersebut masih terhambat Covid-19.

“Karena para pemasok utama kita, dari Finlandia, Kanada dan Jepang sangat terdampak (Covid-19),” kata Tony.(RI)