JAKARTA – Pemerintah memiliki program gasifikasi yakni konversi bahan bakar pembangkit listrik dari fuel atau BBM menjadi menggunakan gas. Program ini sendiri ditugaskan ke PT Pertamina (Persero) untuk selanjutnya dikerjakan oleh Subholding Gas Pertamina atau PT Pertamina Gas Negara Tbk (PGAS).

Dalam Keputusan Menteri ESDM No 13 tahun 2020 tentang Penugasan, Pelaksanaan Penyediaan Pasokan dan Pembangunan Infrastruktur LNG serta konversi Penggunaan BBM dengan LNG dalam Penyediaan Tenaga Listrik. Dalam beleid itu PGN mendapatkan amanat untuk menjalankan gasifikasi di 52 pembangkit dalam kurun waktu dua tahun sejak aturan Kepmen diterbitkan.

Heru Setiawan, Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis PGN, menjelaskan saat ini pihaknya tengah berkoordinasi dengan pemerintah perihal belum tercapainya target gasifikasi yang sudah tertuang dalam Kepmen.

“Terakhir tahun ini. Kita lagi sama PLN koordinasi nanti kita bicarakan sama Kementerian ESDM bagaimana yang terbaik,” kata Heru saat ditemui Dunia Energi belum lama ini di Bali.

Menurut Heru, Tantangan utama dalam implementasi program gasifikasi adalah terkait skema logistik yang akan digunakan lantaran titik-titik gasifikasi tersebar di berbagai wilayah dan tidak sedikit juga berada dipelosok. Lokasi pembangkit listrik tersebut mempengaruhi penggunaan teknologi. Skema logistik dan teknologi tersebut akan menentukan harga bahan baku berupa gas.

“Kita bahas kemren sama tim dari ESDM mengenai skema logistik. di titik mana pakai teknologi apa. Target utama harga sesuai dengan harapan PLN,” ungkap Heru.

Dalam diktum kelima Kepmen ESDM No 30 tahun 2020 disebutkan bahwa penugasan infrastruktur LNG serta penugasan melaksanakan gasifikasi pembangkit listrik diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat setelah Kepmen ditetapkan.

Menurut Heru, PGN tidak akan menggarap proyek gasifikasi pembangkit listrik ini sendirian. Selain melibatkan anak usahanya, yakni PT Pertamina Gas (Pertagas), pihaknya juga akan menggandeng perusahaan lain di proyek tersebut.

“Ada beberapa titik yang (dikerjakan) bersama mitra. Kemudian juga tidak harus PGN, kan ada Pertagas juga,” kata Heru.

belum dapat memastikan kapan proyek gasifikasi ini selesai. Yang paling dekat, pihaknya segera merampungkan infrastruktur yang dibutuhkan untuk memasok gas ke pembangkit listrik di Nias. “Tahap I ada 32 pembangkit listrik. Saya belum lihat kapan bisa (selesai), tergantung logistik,” ujar Heru.

Salah satu infrastruktur yang membutuhkan waktu lama untuk pembangunannya, sebutnya, adalah kapal pengangkut LNG kapasitas kecil. Pasalnya, kebanyakan kapal yang tersedia berkapasitas besar untuk mengirimkan LNG antar benua. Tetapi, pengerjaan kapal ini dapat dilakukan paralel dengan infrastruktur lainnya.

“Satu klaster sekitar 1-2 kapal, ini ada lima klaster. Jadi butuh 10 kapal, sekarang baru 2 kapal,” ujar Heru.

Pembangkit listrik yang harus dipasok gas oleh PGN itu terbagi dalam delapan klaster. Rincinya, Klaster Sumatera, Kalimantan Barat, Bali Nusra 1, Bali Nusra 2, Sulawesi, Maluku, Papua Utara, serta Papua Selatan. Untuk akselerasi proyek PGN memastikan pasokan gas untuk PLTMG Nias, PLTMG Tanjung Selor, dan PLTMG Sorong. Sejauh ini, baru gasifikasi PLTMG Sorong yang terealisasi lantaran gas hanya perlu dialirkan melalui pipa.

Putra Adhiguna, Analis Energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), pernah mengungkapkan, meski memiliki skala kecil, proyek gasifikasi menelan investasi yang tidak sedikit. Karena yang dibutuhkan adalah fasilitas LNG berksala kecil atau smale scale investasinya justru bisa 2-4 kali lipat dari proyek LNG konvensional. Selain itu, biaya rantai pasoknya juga cukup besar yakni mencapai 30-50% dari harga gas, dibanding LNG konvensional 10-20%.

PGN memperkirakan kebutuhan investasi untuk Proyek Gasifikasi Pembangkit Listrik ini mencapai US$ 1,5-2,5 miliar.

“Ada alasan mendasar mengapa LNG skala kecil telah lama tersangkut di meja perencanaan, kelayakan ekonomi proyek ini sangatlah sulit,” kata Adhiguna. (RI)