Pada akhir 2020, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM dan SKK Migas kembali mengabarkan tentang pencanangan target produksi minyak dan gas bumi (migas) sebesar 1 juta barel dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari pada 2030.

Sejatinya angka-angka target ini akan memiliki makna yang mendalam bagi para pelaku industri migas mengingat saat ini produksi minyak Indonesia hanya berkisar di 700 ribu barel per hari dan gas di 5,6 miliar standar kaki kubik per hari. Artinya, target yang ditetapkan ini sangat optimistis dan bahkan boleh dikatakan agresif sehingga jika dipandang secara positif para pelaku bisnis bisa berharap bahwa Pemerintah kali ini akan sungguh-sungguh melakukan segala upaya yang diperlukan agar target ini tercapai.

Sejak Indonesia menjadi nett importer minyak pada 2003, produksi migas Indonesia pun terus menurun disebabkan angka penurunan produksi alamiah (natural declining rate) lapangan-lapangan migas utama yang sudah tinggi berkisar 40% – 50% serta semakin sulitnya ditemukan lapangan-lapangan migas baru dengan cadangan dan produksi yang besar. Oleh karena itu, penetapan target produksi migas nasional seharusnya bukan lagi sekadar angka-angka yang disertai alasan-alasan teknis dan dipublikasikan agar tercipta angin segar bagi industri, atau sekadar angka yang ditetapkan atas dasar keputusan tentang anggaran dan pendapatan negara dari sektor ini.

Sesungguhnya, terlepas dari teori kebutuhan energi di masa depan dan jenis energi yang akan berkembang kebutuhannya, Indonesia memerlukan berbagai jenis energi untuk mendukung pertumbuhan dan kemajuan yang ingin dicapai. Jika cukup bijak dan cermat, kita tidak perlu dipusingkan dengan persentase bauran energi yang harus dicapai karena kita sendiri belum juga beranjak dari situasi dan fakta bahwa Indonesia memerlukan energi lebih dari yang bisa dihasilkan saat ini oleh diri sendiri.

Artinya jika kita memiliki sumber daya energi seperti migas, batubara, panas bumi, matahari, air, angin dan lainnya– termasuk energi baru dan terbarukan– fokus pemerintah dan pelaku bisnis adalah bagaimana memastikan sumber daya itu menjadi produk energi yang hadir dalam memenuhi kebutuhan energi masyarkat, bangsa dan negara Indonesia. Jika tujuan produksi energi Indonesia untuk ekspor, pantas jika Indonesia harus melihat kebutuhan energi dunia saat ini ke depan. Tapi, karena kita masih berkekurangan dengan energi yang diproduksi sendiri sementara kita ingin mandiri energi, seharusnya kita tancap gas saja mengembangkan semua potensi energi kita dengan memanfaatkan sumber-sumber energi yang tersedia tersebut.

Dalam hal pengembangan energi ini, kuncinya bagi pelaku bisnis adalah tingkat keekonomian proyek harus tinggi sehingga bisa memberikan pengembalian investasi yang menarik dan pemerintah tentunya pihak yang punya banyak kewenangan untuk memastikan investasi tersebut menarik.

Meskipun kebutuhan migas dunia pada tahun 2030 dan 2040 akan berkurang dan bergeser, Indonesia tetap masih memerlukan migas yang tidak dapat dipenuhi sendiri. Oleh karena itu, target produksi migas 1 juta barel masih relevan sepanjang hal ini didasarkan pada kesadaran yang utuh bahwa Indonesia butuh migas dan masih punya banyak potensi sumber daya migas yang bisa dikembangkan. Oleh karena itu target produksi migas 1 juta barel ini seharusnya mencerminkan langkah-langkah nyata dan strategis yang akan diambil segera oleh pemerintah dalam (1) menghilangkan semua hambatan kebijakan, aturan dan koordinasi, (2) mendorong aplikasi inovasi, teknologi dan efisiensi, (3) memberikan jaminan keamanan, kecepatan, dan keekonomian proyek, serta (4) berdiri di depan dalam memberikan solusi yang diperlukan bagi pelaku bisnis untuk menjalankan perannya dalam mendukung pencapaian target produksi yang sudah ditetapkan ini.

Jika keempat langkah strategis tadi dilakukan oleh pemerintah, target produksi ini bisa dikatakan didasari oleh “Kemauan” pemerintah yang sungguh-sungguh. Namun, jika yang terjadi sebaliknya dimana tidak ada langkah-langkah nyata dan subtansial yang dilakukan, target produksi migas 2030 hanyalah merupakan sebuah “Angan” dan jargon politis saja.

Berdasarkan data yang menjadi rujukan pemerintah dalam menetapkan target ini, beberapa proyek migas beserta Plan of Development (POD) yang sudah ada diprediksi dapat menjadi pendukung pencapaian target tersebut. Tercatat ada lebih dari 20 proyek migas saat ini dan diantaranya terdapat empat proyek yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), yaitu Jambaran Tiung Biru, Indonesia Deep Water Development (IDD), Tangguh Train III dan Blok Masela. Selain itu pemerintah juga menyebutkan bahwa dari 128 cekungan hidrokarbon, masih ada 68 cekungan yang belum disentuh atau tergarap yang memerlukan proyek eksplorasi yang masif.

Keempat proyek strategis yang disebutkan tadi bukanlah proyek baru dan data tentang adanya potensi cadangan hidrokarbon pada daerah yang belum terjamah juga bukanlah informasi yang baru diketahui. Pasti pertanyaan akan terus berdatangan tentang proyek strategis ini dan proyek-proyekk lainnya tentang apa yang terjadi yang membuat proyek-proyyek tersebut sperti jalan di di tempat dan apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk mengatasi hambatan yang ada. Jadi saat ini, yang diperlukan bukan lagi pernyataan berulang-ulang dari Kementerian ESDM, SKK Migas atau DPR, tetapi langkah konkret dan sinergi semua pihak otoritas serta pelaku bisnis dalam menjalankan peran-peran terbaiknya, bukan saling menyalahkan, bukan saling mengambil kredit, dan bukan juga saling tunjuk ketika ada hambatan.

Tunjukkan bahwa target 1 juta barel minyak dan 12 miliar standar kaki kubik gas adalah sebuah ”Kemauan” dan bukanlah “Angan” yang senantiasa ditiupkan dengan mengambil langkah strategis dan nyata untuk mewujudkan kemandirian energi di bidang migas yang telah menghilang sejak 18 tahun lalu. Terlalu lama kalau kita terus berangan. Ayo bangun dan mulailah bekerja untuk Indonesia maju! (dudi rahman)