JAKARTA – Omnibus Law Cipta Kerja yang baru saja disahkan DPR RI disinyalir merupakan pesanan dari oligarki, pengusaha tambang, terutama di sektor tambang batu bara. Setelah
pemerintah dan DPR memberi karpet merah pada para pengusaha tambang melalui revisi Undang-Undang (UU) Mineral dan Batu Bara (Minerba), kini dalam UU Cipta Kerja, pemerintah mengobral kekayaan alam Indonesia secara cuma-cuma melalui kelonggaran royalti hingga 0%.

“Saat negara menghadapi resesi ekonomi, rakyat kehilangan pekerjaan karena pandemi yang tidak kunjung usai, Presiden Jokowi dan DPR justru memilih memberi talangan (bailout) dengan menyelamatkan pebisnis tambang batu bara,” ungkap Iqbal Damanik, juru bicara BersihkanIndonesia dari Auriga Nusantara, Kamis (8/10).

Bailout itu difasilitasi dalam UU Cipta Kerja di paragraf 5 klaster energi dan sumber daya mineral Pasal 128A (1) yang menyebutkan kelonggaran pembayaran royalti kepada pemerintah.

“Pemberian royalti 0% sama dengan memberikan batu bara secara cuma-cuma kepada pengusaha, mengkhianati amanat UUD 45 bahwa sumber daya alam digunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” ujar Iqbal.

Dia menambahkan, insentif ini akan mendorong laju eksploitasi besar-besaran yang beriringan dengan semakin hancurnya ruang hidup dan lingkungan yang tidak layak huni. Situasi ini bertentangan dengan niat pemerintah Indonesia yang membatasi produksi batubara yang dituangkan dalam RPJMN.

Sejak tahun lalu sebelum pandemi, sejumlah perusahaan batu bara besar sudah mengalami kesulitan keuangan, dengan utang jatuh tempo pada 2020, 2021, dan 2022.
Moody’s Investor Services mencatat total utang perusahaan-perusahaan tersebut mencapai US$ 2,9 miliar atau sekitar Rp 42 triliun yang akan jatuh tempo pada 2022. Utang tersebut berbentuk kredit perbankan maupun obligasi.

Sementara melalui UU Cipta Kerja, kewajiban perusahaan untuk menyetorkan royalti kepada pemerintah akan diberikan diskon hingga 100%. “Artinya, relaksasi royalti ini akan menyebabkan negara kehilangan potensi pemasukan hingga US$ 1,1 miliar dan US$ 1,2 miliar dari pajak yang ditarik pada 2019 dari 11 perusahaan batu bara,” kata Iqbal.

Merah Johansyah, juru bicara JATAM Nasional, mengatakan semua terjadi karena legislasi UU Cipta Kerja sudah tersandera dalam konflik kepentingan, para aktor oligarki politik dan bisnis dalam DPR sudah bercampur-baur.

“Sebanyak 50% isi anggota DPR dan pimpinannya juga terhubung dengan bisnis batu bara. Bahkan Satgas Omnibus Law yang ikut menyusun pun berisi para komisaris dan direktur perusahaan batu bara yang juga akan menerima manfaat dari kebijakan UU Cipta Kerja ini sendiri,” kata Merah.

Menurut Merah, diskon royalti hingga 100%  akan menguntungkan perusahaan tambang. Sebaliknya, hal ini sama saja menggratiskan batu bara demi menyelamatkan pengusaha, sementara bagi penerimaan negara dan daerah yang selama ini bergantung pada batu bara akan turun drastis. Di saat yang sama, eksploitasi justru terjadi di daerah.

Kisworo Dwi Cahyono, juru bicara WALHI Kalimantan Selatan, menambahkan bahwa aturan ini juga akan memicu perluasan kerusakan, pencemaran lingkungan seperti lubang tambang dan pengusiran masyarakat dari tanahnya sendiri.

“Biaya pemulihan lenyap dan dana tidak ada karena perusahaan tambang yang diberi diskon royalti, negara dan lingkungan buntung. Material atau sumber daya alam ini ada di daerah, dengan adanya izin tambang, sumur tambang, dan royalti 0%, maka daerah hanya akan mendapat lubang tambang dan bencana saja,” tandas Kisworo.(RA)