JAKARTA – Pemerintah dalam beberapa tahun terakhir terus menggenjot penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT). Bahkan hingga 2025 nanti porsi EBT dalam bauran energi dipatok mencapai 23%. Namun sayang, upaya pemerintah sampai saat ini belum menunjukan hasil yang diinginkan karena hingga tahun lalu saja realisasi bauran EBT baru sekitar 11%. Kebijakan subsidi energi dituding turut berperan tidak signifikannya perkembangan EBT di tanah air.

Febrio Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan mengatakan Indonesia merupakan net oil importir. Hal ini dikarenakan meningkatnya permintaan migas walaupun produksi menurun.

Subsidi energi juga mencakup porsi signifikan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

“Misalnya untuk 2010-2015 subsidi energi hampir 20% dari APBN tentunya angka ini sangat signifikan dan membatasi ruang fiskal untuk mewujudkan misalkan pembangungan infrastruktur dan investasi SDM,” kata Febrio dalam webinar Green Recovery in Indonesia, Kamis (18/2).

Menurut Febrio, sebagian besar subsidi energi ini justru diterima rumah tangga menengah ke atas, alhasil subisidi gagal memberikan kesetaraan. Keberadaan subsidi energi yang sebagian besar untuk pengadaan bahan bakar fosil juga yang berperan dalam tidak pesatnya perkembangan EBT di tanah air.

“Karena hal ini menyulitkan EBT untuk bersaing dengan bahan bakar fosil,” kata dia.

Indonesia telah melalui beberapa jenis reformasi terkait subsidi energi. Reformasi pertama 2015, kemudian tahun tersebut berbagai jenis reformasi untuk mencabut subsidi gas (LPG), memberikan subsidi tetap untuk diesel dan membatasi subsidi listrik.

Reformasi lain dilakukan 2017. Pada saat itu pemerintah menerapkan subsidi listrik bagi rumah tangga dengan kapasitas 900 VA. Saat itu hanya rumah tangga yang terdaftar dalam DTKS yang bisa mendapatkan subsidi ini.

Reformasi yang dilakukan 2015 memang meningkatkan ruang fiskal agar memungkinan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran utk kebutuhan produkftif antara lain pembangunan infrastruktur, seperti dilihat anggaran infrastruktur meningkat signifikan.

“Oleh karena itu anggaran yang efisien bagi subsidi akan bermanfaat,” kata Febrio.

Dia menuturkan ada sejumlah ruang fiskal untuk melakukan reformasi misalnya banyak dari subsidi energi ini didistribusikan berbasis komoditas (ke barang). Berdasarkan kajian dan penelitan yang dilakukan Kementerian Keuangan, subsidi berbasis komoditas menciptakan error karena banyak penerima manfaat yang tidak mendapat subsidi itu.

Bantuan sosial justru error yang kecil. Misalnya kebijakan subsidi LPG menajadi mekanisme bantuan sosial untuk menjadi lebih efisien dan agar menjadi lebih objektif menyasar dan mengurangi angka kemiskinan.

“Mekanisme bantuan sosial ini jauh lebih efektif ketimbang berikan subsidi ke barang. Tidak hanya reformasi energi untuk meningkatkan bantuan sosial yang kami berikan untuk mengurangi angka kemiskinan, bahkan menghapus kemiskinan ekstrem secara total. Subisidi energi saat ini bersifat regresif, subsidi yang tidak bertarget memberikan kebocoran,” kata Febrio.(RI)