JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) bersalah dan telah melakukan maloperasional dalam kegiatan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sorik Marapi Unit II.

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, mengatakan terjadi maloperasional lantaran beberapa prosedur yang diabaikan oleh pengembang ketika melakukan buka tutup sumur panas bumi sehingga diduga menyebabkan warga di sekitar operasi terkena paparan gas H2S.

“Kesimpulan kami telah terjadi maloperasional di lapangan PT SMGP,” kata Dadan disela rapat dengan Komisi VII DPR, Rabu (3/2).

Dari hasil investigasi itu maka PT SMGP sebagai pemegang Izin Panas Bumi bertanggung jawab terhadap kejadian berbahaya dan kecelakaan panas bumi yang telah terjadi.

Menurut Dadan, keluarnya gas H2S bukanlah kebocoran. Dari hasil investigasi ditemukan fakta bahwa pada proses pembukaan sumur, kebetulan ada tipe sumur panas bumi yang di SMGP bukan sumur yang bisa mengalir sendiri uapnya.

“Itu di sumur T-02, jadi harus dibantu dulu, harus ada tekanan. Biasanya dipompa menggunakan kompresor hanya saja pada saat, kompresonya menurut keterangan SMGP sudah berpindah mengikuti rig yang telah berpindah ke tempat lain dan ada kompresor yang ukurannya kecil tidak cukup,” ungkap Dadan.

SMGP kemudian memutuskan untuk dilakukan well to well stimulasi di sumur yang lain yakni mengalirkan gas dari sumur T-09. Sehingga nanti dalam proses pembukaan sumur bisa ngalir secara sendiri otomatis.

“Prinsipnya ditekan, dibuka sekaligus, kemudian air yang ada di dalam itu bisa ikut naik.T-02 tekanan gasnya sebetulnya nggak terlalu tinggi, 415 ppm,  tapi sumur T-09 H2Snya dua kali lipat lebih tinggi 1220. dan pada saat dilakukan gabungan well to well stimulasi otomatis pindah ke T-,02 yang dibuka. Jadi enggak ada kebocoran pipa apapun. Di sini terjadi pencampuran uap yang ada di sumut T-02 yang kematian dibuka karena H2S-nya rendah dicampur dengan sumur yang lain untuk tekanan hanya sebentar, kemudian ditutup lagi,” ungkap Dadan.

Dadan menuturkan maloperasional pengerjaan PLTP Sorik Marapi Unit II lantaran perencanaan kegiatan yang tidak matang diartikan kegiatan ini secara waktu berubah-ubah.

“Ada kesan bahwa memang ini dikejar waktu,” tukas dia

Kemudian ada pelanggaran terhadap prosedur yang telah ditetapkan, memang well to well stimulasi adalah hal yang umum, tapi memang harus diperhatikan kandungan gas. Kegiatan yang terkait safety tidak diikuti seluruh yang terlibat misal hanya dihadiri kepala sekuriti.

Lalu peralatan dan instalasi penunjang yang belum siap atau lengkap misalnya untuk alat komunikasi, tidak semua pakai alat komunikasi.

“Sehingga menurut kami ini penyebab. Kalau itu ada ini bisa dikomunikasikan dikontak lewat radio kemudian detektornya berbunyi,” kata dia.

Dadan mengatakan koordinasi antar tim pelaksana kegiatan juga lemah. Apalagi pelaksanaan sosialisasi kepada masyarakat yang tidak memadai karena pelaksanaan berubah-ubah.

“Kompetensi personil pelaksana kegiatan juga tidak memadai menjadi kepala sekuriti. Enggak paham kalau H2S sesuatu yang beracun, jadi karena enggak paham, enggak dijelaskan ke masyarakat,” kata Dadan.(RI)