ISU inefisiensi subholding Pertamina kembali mencuat seiring pernyataan mantan Direktur Hilir Pertamina (2003-2004) Harry Poernomo yang dimuat Dunia Energi (Mantan Direktur : Inefesiensi Subholding Pertamina Terjadi Hingga ke Level Operasional Bawah – Dunia Energi (dunia-energi.com). Bentuk holding PT Pertamina (Persero) dinilai hingga kini belum menunjukkan target efisiensi segala lini yang dicita-citakan. Pada implementasinya holding justru menambah beban, terutama terjadi di level bawah.

Menurut Harry, inefisiensi holding terlihat jelas di bisnis hilir Pertamina. Bentuk holding yang dibanggakan pemegang saham lebih efisien karena memangkas jumlah direksi lebih sedikit, hal ini sama sekali tidak benar karena justru jabatan direksi dan komisaris bahkan bertambah banyak. “Tiap subholding punya direksi minimal empat orang dan komisaris empat orang padahal ada lima subholding,” katanya.

Tidak efisien dan efektifnya skema holding diterapkan pada bisnis hilir Pertamina sangat terasa di level operasional bawah. Harry mengaku mendapatkan kesaksian langsung internal Pertamina tidak efisiennya skema holding ini salah satunya adalah legalitas yang berkaitan dengan hubungan agen-agen LPG dan Stasiun Pengisian Bahanbakar Umum (SPBU). Semula para agen berhubungan dengan Pertamina, sekarang harus berubah menjadi subholding Patra Niaga sehingga kontrak-kontrak keagenan harus diamendemen.

Ditanya tanggapannya atas pernyataan Harry Purnomo mengenai isu inefisiensi subholding, seorang mantan Dirut Anak Usaha Pertamina menyatakan diskusi subholding Pertamina harus dilihat dari dua perspektif berbeda, yaitu subholding sebagai sebuah konsep dan subholding dalam tataran implementasi.

“Saya faham concern beliau, terutama mengenai pembengkakan organisasi. Itu adalah distorsi di tataran implementasi dari sebuah perubahan format perusahaan yang terjadi dalam skala besar, yaitu restrukturisasi dan transformasi. Distorsi, bahkan chaos dalam sebuah proses perubahan sering terjadi, tapi seharusnya bisa diantisipasi, manageable dan tetap common sense,” ujarnya kepada Dunia Energi, Selasa (26/1).

Menurut sumber, distrosi tersebut tidak perlu terjadi jika “restrukturisasi” tersebut mempunyai visi yang jelas, direncanakan dengan matang dan disiplin dalam tataran implementasinya. Pembengkakan organisasi adalah isu klasik yang sering terjadi dalam sebuah proses transformasi atau restrukturisasi karena overdrived atau mengabaikan tujuan utama transformasi dan restrukturisasi.

“Transformasi akan selalu menimbulkan turbulensi, admit it, karena itu visi perusahaan harus menjadi tumpuan atau pivot untuk menjaga konsistensi arah dan proses transformasi. Kita sering underestimate visi dan baru sadar setelah situasi menjadi chaotic,” ujar sumber yang malang melintang di bisnis hilir Pertamina.

Sebagai sebuah konsep, lanjut sumber, bagi Pertamina subholding adalah mandatory. Ini jalan keluar bagi sebuah perusahan yang sudah berada pada puncak kurva lifecycle-nya. Perusahaan yang berada pada stage ini menghadapi isu “systematic comfort zone” yang melibatkan hampir seluruh elemen perusahaan dari mulai Human Capital (HC), struktur organisasi, sistem kerja dan prosedur, dan model pengambilan keputusan. “Itu klasik,” ujarnya.

Sumber menambahkan, paling berbahaya adalah di area model pengambilan keputusan. Perusahaan-perusahaan yang berada pada stage ini menikmati “stabilitas” performa keuangannya, relatif di industri-nya. Ini adalah jebakan comfort zone, anda “tidak perlu” mengambil keputusan-keputusan strategis, toh perusahan tetap berada pada “puncak performa” operasionalnya.

“Tapi, Hang Mode seperti ini membahayakan masa depan perusahaan. Jangan lupa kita berada dan berkompetisi dalam sistem bisnis dan ekonomi global, market is wildly dynamic and we need to respond, otherwise you conscieously let the company sinking,” katanya.

Kenapa harus subholding? Menurut sumber, dalam konteks Pertamina, konsep ini akan menjawab setidaknya tiga hal penting. Pertama, proses pendewasaan korporasi dan elemen terpenting-nya, yaitu Human Capital, melalui pendekatan Extreem. “By system, anda dipaksa keluar dari Comfort Zone Korporat yang selama ini over-protective. Korporat selama ini menjadi ‘tempat berlindung’ yang nyaman,” ujarnya

Kedua, Setting a Corporate’s Business Accountability. Filosofi subholding sebenarnya adalah memecah Korporasi menjadi pulau-pulau kecil sesuai core-nya agar mandiri secara finansial, lincah dan akuntabel secara bisnis. Isu pembengkakan organisasi seharusnya tidak terjadi karena akan menurunkan rasio produktivitas Human Capital dan akhirnya backfire ke performa perusahaan.

Ketiga, menyiapkan korporasi agar mampu merespons perubahan peta bisnis energi dunia yang begerak sangat cepat. Manajemen di subholding akan dipaksa untuk mengambil keputusan-keputusan sulit jangka panjang untuk menjamin masa depan perusahaan 15-25 bahkan 50 tahun ke depan, itu memang tugas elite perusahaan atau manajemen.

Sumber menyebutkan, Pertamina harus berani memperkenalkan audit manajemen yang cukup komprehensif dan tajam, yang mampu menilai kinerja holding dan subholding-nya berbanding relatif terhadap industrinya dan kompetitor industri-nya.

“Kita ambil contoh yang sangat sederhana, dan ini belum tentu mampu merepresentasikan cakupan visi perusahaan, by 2025 Electric Vehicle akan masuk dalam skala komersial, kita siap? Sejauh mana persiapan kita,” ujarnya.

Apakah subholding 100% menjadi jaminan dalam menjawab tiga hal tersebut? Sumber menyebutkan itu tidak jadi jaminan, harus diikuti dengan sistem yang mendukung. Paling sensitif adalah sistem remunerasi. “It is a two sided blades,” katanya. Harus di-introduced sistem remunerasi baru, yang fair dan progresif. Sistem yang ada saat ini memanjakan dan men-deliberate orang untuk menikmati subsidi silang yang tidak sehat.

“Kalau tidak salah, gaji Pertamina itu rata-rata bergerak dari 24-27 kali bulan gaji (termasuk bonus). By this system, you can’t expect people to stretch their capability, responsibility, let alone taking risk. Sistem ini hanya akan ‘menyisakan’ less than 2% special talents untuk tetap perform beyond karena itu memang naturally embedded di orang-orang tersebut. Tapi anda bisa bayangkan, 2% take a 98% burden?, that’s cruel,” katanya.

Untuk mudahnya sumber memberi ilustrasi. Bagaimana kalau 24-27 kali gaji itu kita bagi dalam tiga package. Paket pertama, Generic Package, yang merupakan 14-15 kali gaji berasal dari 12 bulan plus Hari Raya dan Cuti. Package kedua disebut Bonus & Insentif, diambil 40% dari selisih 24-27 dikurangi 15, jadi bergerak antara 4-6 kali gaji, basisnya adalah kombinasi KPI (Key Performance Indicators) Kroporat-Subholding-Individu, mekanisme ini sudah established di Pertamina, no brainer.

Package ketiga, disebut Special Performance Bonus, diambil 60% dari selisih 24-27 dikurangi 15, jadi bergerak antara 5-7 kali gaji, atau lebih. Super bonus ini, sebagai contoh, hanya diberikan kepada subholding, tim dan individu dengan performance khusus yang mampu men-create bisnis baru dan menciptakan new incremental growth perusahaan secara nyata atau akuntabel, 15-25 tahun.

Akan halnya side-impact subholding, sumber mengatakan, sistem baru ini juga akan menimbulkan distrosi dan bahkan “chaos”, tapi dalam konteks positif. Dia mencontohkan, subholding-subholding bisa masuk kedalam persaingan internal atau saling crossing-border. Hal ini dinilai karena subholding begitu excited untuk tumbuh cepat atau bahkan desperate untuk survive.

“Nah, disinilah fungsi Korporat sebagai Holding: Igniting & Aligning. Elemen-elemen yang menjadi kontra produktif harus bisa dideteksi dengan cepat oleh Holding dan, sedemikian rupa, ‘di-realokasi’ untuk menjadi driver pertumbuhan Holding sebagai Korporasi,” ujarnya.

Mantan Dirut AP Pertamina yang beberapa kawannya di jajaran BOD Korporat maupun BOD Subholding itu mengatakan tugas holding adalah me-manage portfolio-nya (subholding) pada skala optimal bahkan stretching-beyond. Dia menganalogikan sepak bola, holding tugsanya adalah sebagai Coach sekaligus Play Maker Korporasi dalam tataran dinamika dan “kompetisi” di industri dan lintas industri-nya.

“Sistem ini akan men-encourage individu dan organisasi berani keluar dari conventional playing field– nya. Kalau kita mampu men-create minimal 20% talenta dengan mentalitas seperti ini, kita akan selalu leading, bahkan dalam skala dan tataran internasional,” katanya. (DR)