Dari kiri: Anggota Komisi VII DPR Satya W Yudha, Chairman E2S Dudi Rahman, serta Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW Firdaus Ilyas, dalam diskusi “Analisis dan Outlook Sektor Migas Semester I 2013″ di Jakarta.

JAKARTA – Pemerintah melalui Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dituntut berperan lebih dominan dalam menyelesaikan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang cukup mengganggu kepastian hukum di sektor migas.

Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Satya Widya Yudha mengatakan, dalam pelaksanaan pengolaan migas Indonesia yang dinaungi sistem Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing Contract (PSC) pemerintah telah menunjuk lembaga yang mengawasi Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) Migas dalam setiap operasional kegiatannya.

Jangan sampai, ujarnya, dengan berkembangnya kasus hukum korporasi yang mengganggu kepastian hukum, seperti yang terjadi pada proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) SKK Migas terkesan ada dan tidaknya sama saja.

Ia mencontohkan pada kasus semburan lumpur Lapindo yang sejatinya berawal dari suatu aktivitas eksplorasi, KKKS dalam hal ini PT Minarak Lapindo seolah dibiarkan menghadapi kasusnya sendirian. Padahal segala yang dilakukan oleh KKKS Migas tentu saja sudah dengan persetujuan SKK Migas yang dulu bernama Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).

Demikian pula dengan kasus bioremediasi PT CPI, menurut Satya seharusnya PT CPI tidak dibiarkan membela karyawan dan kontraktor serta menghadapi kasusnya sendirian. Karena tuduhan dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus bioremediasi itu, tidak terlepas dari peran SKK Migas yang sebelumnya sudah menyetujui pelaksanaan proyek dan besaran nilai proyek, yang kemudian dimintakan penggantian kepada pemerintah melalui mekanisme Cost Recovery.

Perlu dicatat, kata Satya, Cost Recovery merupakan suatu bentuk investasi tidak langsung Pemerintah Indonesia dalam kegiatan hulu migas. Dalam mekanisme Cost Recovery yang merupakan bagian dari sistem PSC, ada institusi negara yang mengaudit besarannya agar tidak sampai merugikan negara. Ada multiple audit di sana, termasuk oleh SKK Migas.

“Kalau sampai terjadi Cost Recovery jebol, berarti yang mengaudit Cost Recovery itu yang tidak becus,” tandasnya  dalam  Ekspose dan Diskusi Energy and Mining Editor Society (E2S) bertema “Analisis dan Outlook Sektor Migas Semester I 2013; Dilematika Penanganan Kasus Bisnis Korporasi” di Jakarta, Selasa, 23 April 2013.

Meski demikian, lanjutnya, kalau memang dinilai ada kelebihan dalam pembayaran Cost Recovery, sesuai sistem PSC yang berlaku di Indonesia, maka dimintakan pengembalian kepada KKKS yang bersangkutan. “Dan kalau terjadi kelebihan dalam pembayaran Cost Recovery, mestinya yang ditegur lebih dulu adalah si pengawas. Tidak bisa dibebankan langsung kesalahan itu operator atau KKKS yang sebenarnya merupakan pihak yang diawasi,” ujar Satya lagi.         

Maka dari itu, kata Satya lagi, karyawan yang bekerja di SKK Migas tidak boleh orang sembarangan. Karyawan SKK Migas harus orang yang mumpuni, yang mampu memastikan Cost Recovery sebagai faktor pengurang hasil dari operasi hulu migas, tidak sampai merugikan negara. “Jadi peran pemerintah harus dominan di sini, dan fungsinya harus lebih mengedepan guna menguatkan tata kelola hulu migas. Kalau tidak, maka keberadaan pengawas kegiatan hulu migas layak digugat,” tegasnya.

Banyak Yang Belum Jelas

Satya pun menambahkan, mencuatnya kasus bioremediasi PT CPI harus dievaluasi oleh seluruh pemangku kepentingan di sektor migas. Jangan sampai setiap orang yang kalah dalam tender dan kebetulan dekat dengan aparat hukum, bisa sewaktu-waktu mempersoalkan suatu proyek hulu migas menjadi suatu kasus pidana. “Kalau ini berlanjut terus, akan menjadi sangat tidak sehat,” ujarnya lagi.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas menuturkan, dalam konteks pengelolaan hulu migas ada tiga prinsip utama yang diatur oleh UUD 1945. Yakni Mineral Right dan Mining Right yang itu ada pada state atau negara, serta Business/Interprise Right yang itu ada pada swasta baik nasional maupun asing.

Dalam konteks ini, menurut Firdaus memang PSC migas akhirnya bisa dijangkau oleh hukum pidana. Maka dari itu, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Bareskrim Polri sejak tahun lalu sudah menandatangani MoU (Nota Kesepahaman) untuk adanya penanganan sepuluh sektor yang berpotensi besar menimbulkan korupsi. Salah satunya di pertambangan dan migas.

Namun pada kasus bioremediasi PT CPI, menurut Firdaus masih banyak yang belum jelas. Karena dalam konteks korporasi terutama PSC Migas, tuduhan adanya tindak pidana korupsi harus didasarkan pada dua hal. Pertama, apakah terjadi pelanggaran peraturan? Kemudian yang kedua, apakah ada pihak yang diperkaya dalam kasus itu? “Kedua hal ini belum terjawab dalam kasus bioremediasi PT CPI,” ujarnya.

Sejauh ini, lanjutnya, yang mengemuka dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam kasus bioremediasi, hanya tentang adanya pembayaran Cost Recovery sebesar USD 9,9 juta selama 2002 – 2012. Namun Kejaksaan Agung yang menangani perkara ini, tidak proaktif memberikan informasi yang jelas termasuk ke ICW, tentang peraturan apa yang dilanggar dan siapa yang diperkaya?

“Kalau toh kerugian negara itu ada, PT CPI kan tidak berjalan sendiri. Ada institusi yang mengawasi pelaksanaan proyek itu, yakni yang paling utama adalah SKK Migas,” jelasnya. Kalau kasus ini terus dipidanakan dan kemudian ada yang dihukum, lanjut Firdaus, maka akan menjadi preseden sebagai PSC pertama yang masuk ranah pidana.

Kasus Bioremediasi Tendensius

Namun Firdaus memberikan catatan bahwa banyak yang ganjil dalam kasus bioremediasi PT CPI. Salah satu yang paling utama adalah adanya saksi ahli yang merupakan pihak yang pernah kalah dalam tender proyek bioremediasi PT CPI. Pertanyaannya, apakah pihak yang kalah tender boleh menjadi saksi ahli? “Kalau hanya jadi wistle blower bolehlah, tapi kalau sampai menjadi saksi ahli, saya melihatnya sangat aneh. Kasus ini sangat tendensius,” tandas Firdaus.

Sementara itu, Chairman Energy and Mining Editor Society (E2S) Dudi Rahman yang juga menjadi pembicara dalam diskusi itu menyebutkan, sampai saat ini telah ada sebanyak 8.800 pemberitaan di media cetak maupun online terkait kasus bioremediasi PT CPI. Dari jumlah itu, hanya 1.700 pemberitaan yang menyebutkan kasus bioremediasi PT CPI layak dipidana. Selebihnya yakni 7.100 pemberitaan menilai bioremediasi Chevron tidak layak dipidana.

Dudi menilai kasus ini mirip dengan kasus PT Newmont Minahasa Raya (NMR) yang menghadapi persidangan akibat dituduh mencemari Teluk Buyat. Persidangan pun berlangsung lama hingga lebih dari setahun, dan cukup berpengaruh pada iklim investasi di Indonesia. Sampai akhirnya PT NMR pun diputus pengadilan tidak mencemari Teluk Buyat.

(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)