JAKARTA – Pemerintah diminta tidak lagi bermain-main dengan kepastian hukum dalam kontrak bagi hasil minyak dan gas. Apalagi saat ini ada dua skema kontrak yang dianut Indonesia, yakni cost revovery yang merupakan rezim kontrak terdahulu dan gross split.

Yusak Setiawan, Praktisi Migas,  mengatakan reaksi beragam ketika skema gross split diterapkan yang akhirnya muncul pro kontra tidak terhindarkan dalam dua tahun terakhir. Meski banyak pro kontra,  setiap penanam modal akan kembali pada kenyataan bahwa aturan main ditentukan  pemerintah selaku wakil dari negara dalam mengelola sumber daya alam.

Ini artinya skema gross split tidak serta merta bisa dihilangkan begitu saja. Apalagi memang harus diakui ada juga kelebihan dari penerapan skema gross split.

“Selama perhitungan keekonomian dari blok migas yang ditawarkan masuk akal, artinya penanam modal bisa mendapatkan keuntungan, mereka tidaklah terlalu peduli dengan kontrak bagi hasil mana pun. Yang lebih dikhawatirkan penanam modal adalah kepastian hukum dari suatu kontrak tersebut,” kata Yusak kepada Dunia Energi, Selasa (3/12).

Namun demikian perbaikan skema gross split juga harus tetap dilakukan pemerintah agar niat untuk memperbaiki iklim investasi juga bisa terwujud.

Besaran bagi hasil (split) yang di terima  penanam modal (Contractor Split), di definisikan di formula Contractor Split = Base Split + Variable Split + Progressive Split dimana Base Split adalah 43% untuk minyak dan 48% untuk gas. Namun split tersebut bisa berubah drastis dengan adanya tambahan dari variabel split yang telah ditetapkan pemerintah.

“Perlu dipikirkan peninjauan kembali variable split dilihat dari faktor bawah permukaan, yang menurut saya sangat keliru,” ungkap Yusak.

Lebih lanjut dia menuturkan ide untuk menerapkan konsep gross split bisa dimengerti lantaran penghasilan dari sektor migas yang terus menurun, sebaliknya biaya pengembalian atau cost recovery terus meningkat. Kemudian debat tidak berkesudahan tentang subyek cost recovery, antara pemerintah dan penanam modal.

“Perdebatan panjang cost recovery itu mengenai mana yang bisa dikembalikan, mana biaya yang tidak bisa dikembalikan,” tukasnya.

Menurut Yusak, cost recovery merupakan pengembalian biaya operasi dalam bisnis hulu migas yang telah dikeluarkan  penanam modal sebelum minyak dan gas itu ditemukan dan bisa diproduksi secara komersial. Jika tidak ditemukan minyak dan gas bumi yang dapat di produksi secara komersial, maka cost recovery tidak bisa dituntut oleh penanam modal, artinya mereka akan merugi.

Sebagai gambaran antara 2009 sampai 2012, kurang lebih Rp20 triliun dihabiskan oleh sejumlah penanam modal sebagai usaha untuk menemukan cadangan minyak dan gas bumi. “Kerugian ini murni ditanggung oleh pihak penanam modal dan tidak bisa dikembalikan (cost recovery),” kata Yusak.

Kementerian ESDM mengisyaratkan tidak lagi mewajibkan kontraktor untuk menggunakan skema gross split dalam kontrak baru.

Arifin Tasrif, Menteri ESDM mengungkapkan bahwa fleksibilitas kontrak akan diberikan pemerintah sehingga perusahaan bisa memilih skema yang cocok untuk diterapkan di blok migas yang dikelolanya.

Gross split ataupun skema cost recovery sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tidak sedikit kontraktor yang sangat mendukung gross split, tapi ada juga yang mengaku cost recovery lebih bisa meningkatkan keekonomian proyek.

Arifin menyatakan saat ini masih melakukan finalisasi aturan yang bisa mengarahkan kontraktor untuk bisa bebas memilih skema kontraknya. “Mana yang enak (skemanya) masih kami bahas,” kata Arifin.(RI)