JAKARTA – PT Pertamina (Persero) menargetkan memproduksi biodiesel (B100) pada 2022. Sebagai persiapan menuju target tersebut perusahaan migas plat merah mengusulkan adanya kepastian pasokan Crude Palm Oil (CPO) serta harga khususnya.

Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, mengatakan Pertamina menyiapkan tiga strategi untuk dapat memproduksi B100. Strategi pertama adalah dengan melakukan perbaikan untuk peningkatan kemampuan atau revamping kilang Cilacap yang ditargetkan selesai pada 2022.

“Pada 2022, itu yang selesai adalah revamping equipment di Kilang Cilacap. Jadi akan menghasilkan B100, hasilnya 300 ribu ton per tahun,” kata Nicke disela rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Jakarta, Rabu (29/1).

Menurut Nicke, hingga kini kemampuan fasilitas Pertamina hanya mampu mencampur biodiesel sampai dengan 30% ataupun B30 dengan solar. Jika ingin mencapai target pemerintah minimal di B50,  maka perlu ada peningkatan kemampuan kilang dalam pencampuran.

Secara teknis, pencampuran FAME dengan solar hanya dapat dilakukan sampai maksimal kadar 30% saja. Hal ini mengingat kandungan air atau gliserin dalam FAME sangat tinggi.

“Jadi selebihnya kalau mau B40 atau B50 harus ditambahkan HVO (hydrotreated vegetable oil) atau B100. Jadi kalau B50 maka 20% FAME dan 30% HVO,” kata Nicke.

Menurut Nicke, adanya mandatory biodiesel yang diperluas sejak September 2018 telah mampu memangkas impor solar. Mulai Maret tahun lalu, Pertamina tidak lagi mengimpor solar.

Bagi negara, mandatory biodiesel berhasil menghemat devisa sebesar Rp43,8 triliun pada 2019 lalu dan diharapkan naik pada tahun ini menjadi Rp63,4 triliun.

“Dari volume, impor solar turun drastis dari 15,2 juta barel di 2018 menjadi 820 ribu barel di 2019, nilainya dari US$1,4 miliar menjadi US$54 juta. Ini beri kontribusi terhadap current account deficit,” papar dia.

Agar kondisi ini bisa bertahan dan ditingkatkan Pertamina butuh dukungan pemerintah dan DPR untuk dapat melanjutkan distribusi biodiesel ini. Salah satunya berupa DMO minyak sawit, baik untuk volume dan harga. Dari sisi harga, Pertamina berharap ada batas atas dan batas bawah untuk harga minyak sawit yang menjadi bahan baku biodiesel.

“Batas bawah berupa biaya produksi plus marjin untuk menjaga keberlangsungan bisnis produsen minyak sawit, dan batas atas sesuai harga pasar untuk menjaga keberlangsungan bisnis Pertamina,” jelas Nicke.

Dukungan lain yang dibutuhkan juga adalah terkait perpajakan. Pasalnya, selama proses produksi biodiesel tidak seluruhnya berada di kilang, pajak yang dikenakan bisa berlapis-lapis.

Nicke mencontohkan, pajak dikenakan ketika minyak sawit diolah ke FAME, dan juga ketika FAME tersebut dilanjutkan diolah lagi.

“Kalau nanti B100 tidak akan kena pajak-pajak [berlapis] karena semua di kilang. Tetapi kalau masih di luar kilang, masih kena pajak-pajak. Jadi butuh support terkait pajak-pajak ini,” tegas Nicke

Selain itu, untuk tahun ini Pertamina sudah akan memulai strategi berikutnya dalam memproduksi bahan bakar ramah lingkungan melalui mekanisme co-processing.

Mekanisme ini dengan mencampur Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) dan minyak mentah di kilang. Saat ini, perseroan telah mampu mengolah RBDPO dengan campuran sebesar 20%. Proses ini merupakan yang pertama kali dilakukan di dunia.

“Tahun ini, kami akan terapkan di Kilang Cilacap yang dinilai sudah ready untuk co-processing. Selanjutnya, ini akan diterapkan di seluruh kilang Pertamina,” kata Nicke.

Strategi lainnya adalah dengan membangun unit baru khusus B100 atau green refinery di Kilang Plaju. Untuk strategi terakhir ini Pertamina semper menemui kendala lantara adanya masalah dengan mitra yakni ENI, perusahaan asal Italia. Karena itu Pertamina memutuskan untuk tidak lagi menggandeng ENI dan memilih untuk mengerjakan pembangunan kilang langsung bersama dengan UOP, pemegang lisensi teknologi Ecofining.

Unit baru ini direncanakan memiliki kapasitas pengolahan minyak sawit sebesar 20 ribu barel per hari (bph) dan menghasilkan green diesel sebanyak 1 juta kiloliter (KL) mulai 2024.

ENI sendiri mendapatkan teguran dari pemerintah Italia lantaran adanya pelarangan penggunaan minyak sawit oleh negara-negara Eropa.

“Karena ditegur pemerintahnya, ENI juga harus terapkan itu, jadi putus [kerja sama] dengan ENI. Jadi kami putuskan bangun sendiri dan kerja sama langsung dengan UOP,” kata Nicke.(RI)