JAKARTA – Serikat Pekerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SP SKK Migas) terus mendorong percepatan pembahasan revisi Undang-Undang Migas.

Bambang Dwi Djanuarto, Ketua Bidang Hibungan Eksternal SP SKK Migas, mengatakan salah satu faktor pemicu rendahnya investasi hulu migas dalam kurun waktu lima tahun terakhir adalah ketidakpastian hukum, khususnya menyangkut ketidakpastian penyelesaian revisi UU Migas yang sudah dibahas sejak 2012.

Untuk bisa mendesak percepatan pembahasannya SP SKK Migas menggandeng Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN).

“Kami bersama KSPN meminta pemerintah dan DPR segera menyelesaikan amanat Mahkamah Konstitusi, yaitu membentuk lembaga atau badan usaha permanen,” ujar Bambang, Senin (23/10).

Menurut Bambang, Indonesia saat ini berada dalam krisis energi. Kebutuhan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang mencapai 1,6 juta barel per hari (bph), hanya bisa dipasok 800 ribu bph dari dalam negeri. Sisanya, harus dipenuhi dari impor.

Bambang menegaskan kondisi krisis energi diperparah dengan tidak ada kepastian hukum dalam konteks pengelolaan tata kelola hulu migas. “Khususnya karena sekarang SKK Migas hanya bersifat sementara. Padahal kita butuh lembaga yang pasti (permanen) dan lembaga yang pasti akan memberikan kepastian investasi untuk investor,” ungkap dia dalam keterangan tertulisnya.

Menurut Bambang, dari draft RUU yang ada masih banyak poin-poin pembahasan yang belum dirumuskan secara optimal. Misalnya, hak pekerja SKK Migas dalam pasal peralihan. Saat ini dalam pasal peralihan draft revisi UU Migas versi DPR, tidak dicantumkan hak-hak pekerja SKK Migas.

“Kami meminta agar hak-hak pekerja SKK Migas untuk langsung dipekerjakan kembali di lembaga atau badan usaha yang permanen tersebut dicantumkan dalam draft revisi UU Migas untuk disahkan DPR dan pemerintah” tandas Bambang.(RI)