JAKARTA – Serikat pekerja Pertamina menilai pembentukan subholding PT Pertamina (Persero) merupakan langkah awal untuk memprivatisasi unit bisnis. Subholding dalam dua tahun mendatang dimungkinkan berubah menjadi entitas bisnis yang masing-masing bergerak mencari keuntungan.

Anak perusahaan dibawah subholding nantinya harus memberikan dividen dan pajak ke pemerintah sesuai ketentuan yang diatur pemerintah. Anak perusahaan akan memperkuat permodalan dengan menjual saham perdana ke bursa (Initial Public Offering/IPO) sesuai intruksi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

“Terkait hal tersebut maka akan berdampak pada status pekerja. Meskipun ada aturan di PKB, tidak mungkin seluruh pekerja di Pertamina statusnya sebagai penugasan ke anak perusahaan. Sudah dipastikan pekerja akan diipaksa beralih menjadi pekerja organik dengan pemberian pesangon terlbh dulu,” ungkap Mugiyanto, Ketua Umum (Ketum) SP Mathilda Kalimantan kepada Dunia Energi, Senin (14/6).

Mugiyanto mengungkapkan bahwa pandangan tersebut merupakan hasil kesimpulan dan kesepakatan dari video conference Ketum SP Pertamina seluruh Indonesia beserta Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), yang digelar Sabtu malam (13/6).

SP Pertamina mengganggap pengelolaan BUMN dengan model subholding jelas tidak selaras semangat Pertamina One dan membahayakan kelangsungan bisnis perusahaan.

“Masing-masing direktorat akan mencari keuntungan dengan mengabaikn yang lain)m, mengancam hak dan masa depan pekerja serta memperlemah kedaulatan energi nasional. Juga, dengan konsep tersebut akan terjadi pelepasan aset negara secara sistematis,” ungkap Mugiyanto.

Dia menekankan bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut dan pertimbangan hukum maka, pertama SP Pertamina/FSPPB menolak pembentukan subholding Dan rencana privatisasi unit-unit bisnis perusahaan. Kedua, FSPPB akan melakukan langkah hukum menggugat keputuaan RUPS dan produk hukumm turunannya (SK MBU 196, SK 18 dan sebagainya).
Namun sebelum ini dilakukan akan mengupayakan bisa bertemu dengan pejabat terkait untuk audiensi menyampaikan penolakan secara verbal.
Ketiga, secara paralel agar para Ketum SP mengadakan press release ke media, menyampaikan informasi bahwa ada rencana sistematis pelepasan aset negara melalui IPO dan dampak pengelolaan unit bisnis model Sub Holding tersebut akan menyebabkan harga BBM dan Elpiji semakin tinggi karena diserahkan ke mekanisme pasar. Dalam hal ini kontrol pemerintah sudah tidak ada lagi.

“Kasus Indosat bisa jadi pelajaran. Para anggota SP wajib menyebarluaskan ke seluruh elemen masyarakat sebagai bahan edukasi melalui media yang ada terkait dampak pembentukan Sub Holding. Juga pemasangan spanduk di setiap area operasi sebagai bentuk protes kepada pemerintah,” tandas Mugiyanto.(RA)