JAKARTA – Karen Agustiawan, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) dituntut penjara 15 tahun dan membayar uang pengganti Rp284,03 miliar  subsider 5 tahun. Serta denda Rp1 miliar, subsider enam bulan.

Menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat sidang yang digelar, Jumat (24/5), Karen dianggap melakukan korupsi dalam investasi blok Basker Manta Gummy (BMG). Karen dianggap bersalah melawan hukum dalam investasi Pertamina sehingga menyebabkan kerugian keuangan negara. Investasi Pertamina di Blok BMG dinilai jaksa melanggar prosedur investasi yang diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan ketentuan pedoman investasi lainnya.

Di tempat terpisah, Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) menyatakan aksi korporasi yang bisa menyebabkan kerugian bisnis bukan tindak pidana korupsi. Apalagi industri hulu migas merupakan industri yang berisiko tinggi, padat modal dan padat teknologi, penuh dengan ketidakpastian, namun mempunyai peluang keuntungan yang sangat besar.

Arie Gumilar, Presiden Serikat Pekerja Pertamina, mengatakan lantaran cadangan di dalam negeri semakin menipis, maka sesuai dengan tugasnya Pertamina harus mencari ladang migas baru guna memenuhi kebutuhan nasional melalui investasi akuisisi blok migas di luar negeri.

“Tanpa adanya investasi di sektor hulu migas akan berdampak pada ketergantungan kita terhadap impor yang cenderung meningkat, seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi,” kata Arie, Jumat.

Perhitungan cadangan dan produksi dalam sebuah lapangan migas dilakukan berdasarkan suatu estimasi atau perkiraan menggunakan beberapa parameter yang telah diketahui, dan memanfaatkan teknologi yang ada pada saat itu. Realisasi dari hasil estimasi bisa benar, lebih kecil atau bisa lebih besar dari perhitungan. Hal ini karena karakteristik cadangan migas di bawah permukaan tanah atau di dasar laut bersifat dinamis.

Menurut Arie, Serikat Pekerja Pertamina menilai investasi akusisi Blok BMG telah sejalan dengan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2009, dan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) Pertamina 2009 – 2013. “Direksi Pertamina telah mengikuti prosedur, sesuai dengan aturan yang berlaku dan dengan prinsip kehati-hatian,” ujarnya.

Apabila kerugian bisnis yang diartikan jaksa sebagai kerugian keuangan negara yang kemudian dituduhkan sebagai perbuatan korupsi karena telah menguntungkan orang lain dan atau perusahaan lain adalah tidak benar.

Alasannya, pertama dalam akuisisi blok migas ini telah melibatkan banyak mitra usaha (konsorsium) dan pemberhentian produksi merupakan kesepakatan bersama karena alasan keekonomian dari cadangan yang memang keberadaannya bersifat dinamis. “Kedua, pihak-pihak yang dituduh telah diuntungkan tersebut, sekalipun benar adanya, tidak pernah diperiksa dan atau dihadirkan ke persidangan oleh JPU untuk didengar dan dibuktikan kebenarannya,” ungkap Arie.

Saat investasi akuisisi Blok BMG pada 2009 direksi Pertamina juga telah mendapatkan Pembebasan dan Pelunasan Tanggungjawab (acquiet et de charge) dari Pemegang Saham (Menteri BUMN) melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) 2010 – 2013. Selain itu, terhadap aksi bisnis Pertamina ini juga telah dilakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) jenis Audit Investigatif oleh BPK-RI pada tahun 2012, dengan kesimpulan tidak ada temuan kerugian keuangan negara.

Sehingga, tidaklah tepat JPU masih menuduh direksi Pertamina telah melakukan korupsi untuk aksi bisnis korporasi yang telah mendapatkan release & discharge dari pemegang saham yang notabene juga pemerintah (Kementerian BUMN). Hal ini telah menunjukan adanya ketidakpastian hukum diantara instansi pemerintah sendiri. Ketidakpastian hukum ini telah dan akan meresahkan para Direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daera (BUMD) dalam berinvestasi guna menjaga pertumbuhan dan mengembangkan usahanya.

Jika keputusan terhadap kasus a quo tetap dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi, maka itu akan menjadi preseden buruk bagi para Direksi BUMN/BUMD lainnya. Iklim investasi BUMN/BUMD menjadi buruk karena para Direksi tidak akan berani mengambil keputusan bisnis yang berisiko tinggi. Sehingga, peran dan tugas BUMN/BUMD sebagai penggerak roda perekonomian nasional akan menjadi sulit untuk dilaksanakan.

“Jika aksi bisnis di BUMN/BUMD “dikriminalisasi,” utamanya bisnis hulu migas, maka ketahanan energi nasional yang mencerminkan kesejahteraan rakyat mustahil bisa terwujud,” kata Arie.(RI)