JAKARTA – Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) mencatat sepanjang 2019 terjadi ratusan kegiatan yang diduga merupakan penyelewengan dalam pendistribusian BBM bersubsidi jenis solar.

M Fanshurullah Asa, Kepala BPH Migas, mengungkapkan saat ini pihak kepolisian sedang melakukan penyidikan atas temuan tersebut.

“Jadi 404 kasus sedang diproses penyidikan dengan polisi. BPH Migas diminta sebagai saksi ahli, jadi nanti ketahuan. Ini dipantau juga dengan BPH Migas,” kata Fanshurullah di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (12/2).

BPH Migas sudah mewanti-wanti bahwa ada berbagai kasus penyelewengan yang terjadi dalam pendistribusian BBM bersubsidi. Ini juga yang akhirnya membuat kuota BBM jenis solar subsidi jebol. Tahun lalu realisasi penyaluran solar subsidi adalah sebesar 16,2 Juta Kiloliter (KL) padahal kuotanya hanya 14,5 juta KL atau kelebihan sekitar 111,94%.

Peyelewengan tersebut menurut BPH Migas dilakukan oleh konsumen di sektor usaha, terutama pertambangan. Sedikitnya ada 10 wilayah yang diduga terjadi peningkatan konsumsi solar secara tidak wajar, yakni di Provinsi Kalimantan Timur, Riau, Kepulauan Riau, Lampung, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Bangka Belitung.

Sejak 2017, kasus penyelewengan distribusi BBM bersubsidi meningkat. Pada 2017 tercatat ada 187 kasus sementara tahun 2018 ada 260 kasus kemudian meningkat tajam di tahun 2019 yakni mencapai 404 kasus.

BPH Migas juga memproyeksi kuota volume BBM solar bersubsidi dan BBM jenis penugasan atau premium pada tahun ini akan kembali jebol dengan catatan tidak ada perubahan dalam aturan pengawasan.

Menurut Fanshurullah, salah satu penyebab terjadinya penyelewengan karena sistem pengawasan masih lemah. Ini juga ditopang dari regulasi yang ada sekarang. Dari sisi regulasi, BPH Migas meminta ada revisi dalam lampiran du Peraturan presiden No 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, dapat menjadi solusi menekan potensi over kuota. BPH mengusulkan agar kendaraan roda enam dan kereta api umum yang angkut barang tidak lagi gunakan BBM bersubsidi.

“Di kereta api, kereta api itu masih di barang, kami mendapatkan kereta api itu mengangkut barang untuk ekspor pakai lokomotif,” kata dia.

Selain itu dia pun meminta agar digitalisasi dalam pengawasan oleh Pertamina segera diimplementasikan.

“Titik serah bukan di pengalur tapi titik serah nya di depo jadi mobil tangki keluar tidak ada urusan dia, keluar 16 ton jalan, kalau dia kencing atau dia masukan ke industri sisanya dia masukin ke SPBU, ini yang kita usulkan titik serang nya adalah bukan di depot tapi di penyalur,” ungkap Fanshurullah.

Jika kondisi ini terus berlanjut maka bukan tidak mungkin kuota BBM subsidi tahun ini akan kembali jebol.

“Sederhana aja logikanya 14,5 juta KL kuota di 2019 kuota di 2020 cuma naik 800 ribu KL, kalau dia 1,6 juta KL (kelebihan tahun lalu) berapa selisihnya. Artinya itu kalau tidak ada itu noozle tidak ada perubahaan perpres, dengan logika yang sama, ekonominya sama, apalagi kendaraannya bertambah,” kata Fanshurullah

Penggunaan pencatatan elektronik dalam penyediaan dan pendistribusian BBM ini juga telah diatur dalam Peraturan BPH Migas Nomor 06 Tahun 2013 tentang Penggunaan Teknologi Informasi dalam Penyaluran Bahan Bakar Minyak.

Melalui Surat Menteri ESDM No. 2548/10/MEM.S/2018 tanggal 22 Maret 2018, Menteri ESDM meminta Menteri BUMN agar mengintruksikan kepada PT. Pertamina (Persero) untuk segera melaksanakan pencatatan penjualan JBT sesuai ketentuan Perpres Nomor 191 melalui pencatatan elektronik/digitalisasi nozzle.

“Menteri ESDM, dirut Pertamina Dirut Telkom, sudah komit Juni 2020 IT nozzle yang mencatat cctv, mencatat nomor polisi itu sudah berjalan, jadi tunggu,” tegas Fanshurullah.(RI)