LAHENDONG – PT Pertamina Geothermal Energy (PHE) Area Lahendong membangun tempat konservasi monyet hitam, Macaca Nigra, yang hanya ada di Sulawesi Utara. Proyek penyelamatan satwa langka ini merupakan kerja sama antara PGE Area Lahendong dengan Yayasan Masarang, sebuah yayasan yang bergerak dalam pelestarian satwa langka, dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara.

“Proyek ini merupakan bagian dari Program Tanggung Jawab Sosial Lingkungan PGE. Di sini kami memilih Yaki yang hanya ada di Sulawesi Utara,” kata Dimas Wibisoni, Senior Officer Government & Public Relation PGE Aea Lahendong, Sabtu (2/4/2022).

Berkat kiprahnya dalam konservasi Macaca Nigra ini, PGE Area Lahendong berhasil mendapatkan penghargaan dari Indonesia Green Awards (IGA) 2022 pada 21 Maret lalu. PGE Area Lahendong yang beroperasi di Sulawesi Utara mendapat penghargaan untuk kategori Mengembangkan Keanekaragaman Hayati melalui program “Konservasi Fauna Yaki – Rehabilitasi Spesies Macaca Nigra”.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 2,5 jam, 11 monyet Yaki (Macaca Nigra) itu menempati rumah sementara yang baru dibangun di Pusat Rehabilitasi Monyet Yaki di Gunung Masarang, Kelurahan Rurukan, Tomohon, sejak awal Desember 2021. Sebelumnya, hewan endemik Sulawesi Utara yang sudah masuk kategori langka ini direhabilitasi di Tasikoki Wildlife Rescue Centre, Bitung. Di Tomohon, mereka itu menjalani proses habituasi agar siap kembali ke hutan.
PGE Area Lahendong membangun kandang seluas 100 meter persegi di hutan Masarang di lahan milik Yayasan Masarang dan membiayai operasional perawatan, termasuk makanan, vitamin, dan medical check up. Yayasan Masarang menyediakan lahan, dokter hewan, dan para penjaga (keeper). Kandang itu memiliki tinggi delapan meter, dan cukup untuk 11 ekor monyet Yaki menjalani proses habituasi.
“Di sana monyet Yaki dipantau kesehatan dan perilakunya. Kalau sudah dinyatakan siap, mereka akan dilepasliarkan di hutan,” kata Dimas.

Rencananya, proses habituasi ini berlangsung sekitar 3 tahun. Kalau semuanya lancar, kata Dimas, 11 monyet Yaki itu akan dilepasliarkan di kawasan konservasi taman wisata alam (TWA) Gunung Ambang, Modayag, Bolaang Mongondow Timur, pada 2023.
Proses habituasi ini memakan waktu cukup lama.
“Karakter Yaki ini hidup berkelompok. Para penyelamat satwa yakin mereka bisa bertahan di tengah hutan jika mereka sudah membentuk kelompok yang solid,” kata Dimas.

Saat ini, mereka masih dalam proses pembentukan kelompok karena berasal dari berbagai lokasi, berbeda umur, dan jenis kelamin. Kelompok yang solid bisa diketahui jika sudah ada monyet jantan yang dominan (alfa male) yang akan menjadi pemimpin kelompok.

John Tasirin, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi, mengatakan ada tujuh spesies Yaki di Sulawesi, tapi hanya Macaca Nigra yang hidup di hutan-hutan Sulawesi Utara. Mereka bermigrasi dari Kalimantan ke Sulawesi, dan berakhir di Sulawesi Utara.
“Dilihat sejarahnya, primata paling tua di kawasan Sulawesi adalah Tarsius, dan Macaca Nigra merupakan generasi yang paling modern dan memiliki intelektualitas tinggi,” katanya.

Ciri-ciri Macaca Nigra adalah berbulu hitam lebat, ada jambul di kepala, dan pantatnya berwarna merah muda. Ciri lainnya adalah ekornya pendek.
“Pada umumnya monyet berekor panjang,” ungkap Tasirin.

Menurut dia, ada evolusi perubahan perilaku yang mengakibatkan ekor Macaca Nigra memendek. “Dia tidak lagi hidup di pepohonan, tapi lebih banyak berada di tanah. Ekor yang panjang untuk menjaga keseimbangan ketika mereka bergerak dari pohon ke pohon,” kata Tasirin yang meraih doktor di Universitas Tasmania, Australia.

Menurut ahli konservasi satwa asli ini, Macaca Nigra semakin langka karena habitat hidupnya semakin menyempit. “Pembangunan ekonomi, pertambahan penduduk, dan industrialisasi membuat mereka tidak punya tempat hidup yang nyaman dan mampu menyediakan makanan yang cukup. Akibatnya, mereka turun ke permukiman untuk mendapatkan makanan,” ujarnya.

Makanan mereka antara lain mengkudu hutan, buah rao, beringin putih, mangga, dan asam pakoba.
Selain itu, Macaca Nigra juga diburu untuk dimakan. Namun, kata Tasirin, setelah banyak dilakukan sosialisasi, sebagian anggota masyarakat yang sudah menghentikan kebiasannya itu. Menurut dia, sosialisasi harus terus dilakukan, terutama di kalangan anak muda, mulai dari SD hingga SMA, agar Macaca Nigra tidak terus berkurang.

“Konservasi Macaca Nigra harus dilakukan karena habitatnya merupakan laboratorium alam yang tidak ada duanya di dunia,” ujar Tasirin.

Macaca Nigra merupakan satwa liar yang dilindungi di Indonesia. Hal itu diatur dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 20 tahun 2018 tentang Penetapan Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Berdasarkan dua aturan tersebut, seharus perburuan Macaca Nigra dihentikan.
Wilayah kerja panas bumi Lahendong memiliki enam pembangkit listrik dengan kapasitas masing-masing 20 MW. Untuk PLTP Lahendong 1-4 yang terletak di Lahendong, PGE memasok uap panas dalam Perjanjian Jual Beli Uap (PJBU) dengan PT PLN (Persero). Dua pembangkit yang dibangun terakhir, yakni PLTP 5 & 6 di Tompaso, dikelola sepenuhnya oleh PT PGE berdasarkan Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dengan PLN.

Dimas menceritakan, pengeboran pertama di Wilayah Kerja Lahendong dilakukan pada 1982, tapi produksi komersial mulai dilakukan pada 2001. PT PGE memiliki konsesi di Lahendong seluas 106.800 hektare. Setiap hari, enam pembangkit di Lahendong mengoperasikan hingga kapasitas 110-118 MW. “PLTP Lahendong telah menjadi tulang punggung dan berfungsi sebagai baseload untuk Sistem Kelistrikan Sulawesi Utara-Gorontalo,” kata Dimas.

Saat ini, di Sistem Kelistrikan Sulut-Go memiliki lima jenis pembangkit, yakni PLTU, PLTG, PLTA, PLTP, dan PLTS. Total kapasitas terpasang mencapai 550,78 MW, sedangkan beban puncak pada Maret 2022 sebesar 422 MW. “Kami rata-rata memasok 21-28 persen kebutuhan listrik di Sulawesi Utara dan Gorontalo,” kata Dimas.

Bersama PLTP Kamojang, PLTP Lahendong sudah menerima sertifikat penurunan emisi sebesar 309.000 ton CO2 Ekuivalen. PLN memasukkan dua pembangkit ini dalam program penurunan emisi gas rumah kaca melalui Clean Development Mechanism (CDM). Model CDM ini merupakan salah satu mekanisme perdagangan karbon yang diatur dalam Perjanjian Protokol Kyoto.(RA)