JAKARTA – Hilirisasi batu bara akan menjadi fokus utama pemerintah dalam beberapa tahun ke depan. Ini wajar mengingat dunia sudah mulai meninggalkan batu bara sebagai bahan bakar.

Muhammad Wafid Agung, Direktur Bina Program Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, mengungkapkan pengembangan batu bara terdiri dari enam skema. Pertama, peningkatan mutu batu bara (coal upgrading). Kedua, pembuatan briket batu bara. Ketiga, pembiatan kokas. Keempat, pencairan batu bara (coal liquefaction).

Kelima, gasifikasi batu bara, termasuk underground coal gasifikasi. Dan keenam, coal slurry atau coal water mixture.

Untuk pemanfaatan batu bara bisa dilakukan melalui pembangunan sendiri PLTU di mulut tambang. Dari peningkatan nilai tambah tersebut baru ada dua yang telah mencapai tahap komersial.

“Yang sudah komersial baru dua, coal upgrading dan pembuatan briket batubara,” kata Wafid, Kamis (19/11).

Wafid mengatakan untuk pengembangan batu bara dengan jenis gasifikasi, sudah ada beberapa perusahaan yang melakukan penjajakan. yaitu PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan produk Dimethyl Ether (DME), Methanol dan MEG. Selain Bukit Asam, penjajakan juga sudah dilakukan oleh empat perusahaan PKP2B generasi pertama yang akan menjadi IUPK.

Keempat PKP2B tersebut adalah PT KPC dengan produk methanol, PT Arutmin Indonesia dengan produk SNG yang saat ini sedang tahap finalisasi kajian. PT Adaro Indonesia dengan produk methanol (masih kajian awal), dan PT Berau Coal dengan produk DME/Hydrogen (masih kajian awal). Kisaran investasi untuk proyek ini memang diakui cukup besar sekitar US$1,5 miliar – US$3 miliar.

Berikutnya adalah Underground Coal Gasification (UCG) penjajakan sudah dilakukan oleh tiga perusahaan. Yakni PT Kideco Jaya Agung di Kalimantan Timur (pilot plant), PT Indominco di Kalimantan Timur, PT Medco Energi Mining International (MEMI) dan Phoenix Energy Ltd di Kalimantan Utara.

Investasi untuk proyek UCG ditaksir 30%-40% lebih rendah dibandingkan gasifikasi dipermukaan. “Investasi proyeknya berkisar US$600 juta-US$800 juta,” tukas Wafid.

Hilirisasi berikutnya adalah pembuatan kokas. Proyek ini sudah dijajaki oleh PT Megah Energi Khatulistiwa (MEK) dengan produk semi cokes dan coal tar. Nilai investasi diperkirakan US$200 juta – US$400 juta.

Kemudian ada juga peningkatan mutu batu bara (coal upgrading) yang sudah dilakukan oleh PT ZIG Resources Technology. Investasi untuk proyek ini sekitar US$80 juta-US$170 juta dan sudah komersial.

Serta pembuatan briket batu bara dengan investasi Rp200 miliar atau sekitar US$15 juta ini sudah tahap komersial. Perusahaan yang sudah mengerjakannya adalah Bukit Asam dan PT Thriveni.

Ada juga hilirisasi melalui pencairan batu bara (coal liquafaction). Proyek yang diperkirakan sebesar US$2 miliar- US$4 miliar ini hingga sekarang belum ada perusahaan yang mengusulkan.

Ketujuh, coal slurry/coal water mixture. Proyek sekitar US$200 juta – US$320 juta ini juga masih belum ada perusahaan yang mengusulkan.

Wafid mengatakan, saat ini prioritas produk hilirisasi batu bara ialah berupa DME dan metanol melalui proses gasifikasi batu bara. Pasalnya, DME dan methanol bisa mengurangi impor dan mensubstitusi BBM, BBG, dan bahan baku industri kimia dasar.

“Salah satunya adalah LPG yang selama ini diimpor 75%-78%. Cukup memberatkan keuangan negara. Ini diharapkan bisa diatasi dengan DME hasil gasifikasi batubara,” ujarnya.

Juga untuk kebutuhan metanol di Indonesia yang diperakirakan mencapai 2,1 juta ton pada tahun 2025, yang sekitar 1,6 juta ton diperoleh melalui impor. “Kebutuhan impor ini lah yang kita inginkan untuk bisa diganti dengan hasil hilirisasi batu bara,” kata Wafid.(RI)