JAKARTA – Selain rumah tangga (residensial), sektor industri dan komersial merupakan target yang potensial untuk implementasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap yang akan mendukung visi Bali Provinsi Energi Bersih. Kerja sama berbagai pihak, dari pemerintah daerah, asosiasi, lembaga pembiayaan, serta masyarakat dan beragam kelompok usaha menjadi kunci untuk mendorong pemanfaatan energi surya secara masif yang juga akan berkontribusi pada pemulihan ekonomi Bali pasca pandemi.

Simulasi Institute for Essential Services Reforms (IESR) menunjukkan adanya potensi PLTS atap hingga 25,9 MWp hanya untuk hotel bintang 5 di kawasan Nusa Dua dan Kuta, dan 15,6 MWp untuk bangunan publik dan fasilitas umum di Bali.

Sesuai Peraturan Gubernur (Pergub) 2019 tentang Bali Energi Bersih dan Kendaraan Listrik, telah memuat pewajiban bangunan dengan luasan tertentu, baik bangunan publik atau swasta, untuk memasang PLTS atap. Dengan target pengembangan energi surya sebesar 50 MW pada tahun 2025 sesuai Rancangan Umum Energi Daerah Bali, PLTS atap dapat berkontribusi secara signifikan.

Selain pemerintah, kelompok konsumen rumah tangga, bisnis/komersial, dan industri juga merupakan grup target yang potensial. Sebagai sumber energi terbarukan yang demokratis dan dengan semakin berkembangnya teknologi serta layanan penyediaan energi surya, masyarakat punya andil dalam memanfaatkan sumber energi ini.

“Survei pasar yang dilakukan IESR menunjukkan potensi hingga 23% untuk rumah tangga atau setara dengan 256.000 rumah tangga, sektor bisnis dan UMKM juga memiliki potensi besar. Bisa menyasar 35.000 usaha dan 71.000 UMKM,” ungkap Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi IESR, Rabu (9/6).

Anthony Utomo, Wakil Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), menyampaikan bahwa pihaknya menargetkan mencetak 1.000 Solarpreneur hingga 2024. Semangat Solarpreneur adalah sebagai UMKM energi andalan, yang bergerak di bidang pemasangan PLTS atap dengan standar pemasangan dan kualitas terjamin.

“Pasar PLTS atap di Indonesia terbuka luas. UMKM energi sejauh ini belum ada. Harapannya banyak UMKM di bidang energi yang tumbuh,” ujarnya.

Putu Agung Prianta dari Green Building Council Indonesia-Bali, mengakui bahwa saat ini mereka fokus dalam pengembangan prinsip-prinsip hijau dan berkelanjutan untuk bangunan. PLTS atap di Bali masuk dalam kategori low hanging fruit dalam green building. Hasil survei integrasi PLTS atap di Bali oleh GBCI Bali, penghematan menjadi alasan responden dalam pengadopsian PLTS atap.

“Hambatannya adalah terkait sosialisasi informasi yang masih harus terus didorong. Biaya juga menjadi kendala dalam adopsi PLTS atap di Bali,” ujarnya.

Selain itu, dibutuhkan juga penciptaan ekosistem yang baik adalah dapat menghubungkan antara mitra finansial, pelaku usaha, konsumen dan pemerintah secara terintegrasi dalam pengembangan PLTS atap di Bali. Tantangan terkait pengetahuan dan pemahaman teknologi PLTS yang masih minimal perlu dijawab. Sosialisasi dan dorongan kepada pemerintah kabupaten/kota terkait regulasi juga harus terus dilakukan. Selain itu, masyarakat juga memikirkan biaya pembelian dan pemasangan PLTS atap yang masih dianggap relatif mahal.

“Dengan skema cicilan, koperasi kami justru menurunkan tenor PLTS atap menjadi maksimal 3 tahun pembiayaan,” ujar Ida Ayu Maharatni, Manajer Koperasi Amoghasiddhi.(RA)