JAKARTA – Sebanyak 17 proyek pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) yang telah  memiliki  perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) pada 2017 berpeluang memperoleh bantuan dana pembangunan dari lembaga perbankan. Saat ini ke-17 proyek tersebut masuk dalam kajian peningkatan kualitas feasibility study (FS) yang diusung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bekerja sama dengan United Nation Development Program (UNDP).

Harris, Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan (EBT) Direktorat Jenderal  Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, mengungkapkan pemerintah sudah berinisiatif menyurati 45 perusahaan untuk mengirimkan executive summary project yang ditangani, namun hanya 17 perusahaan yang merespon.

“Nah 17 itu yang diupayakan untuk bisa difasilitasi, dibantu dan kami lakukan bersama dengan OJK, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dengan development partner, seperti UNDP,” kata Harris di Jakarta, Rabu (14/11).

Green Climate Fund (GCF) di bawah naungan UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) misalnya, menetapkan dana perubahan iklim sebesar US$10,3 miliar. Indonesia dapat mengaksesnya melalui SMI, BUMN yang berhasil memperoleh akreditasi GCF. Dana hibah juga termasuk salah satu sumber pendanaan non-APBN.

Menurut Harris, salah satu masalah utama yang dihadapi para perusahaan pengembang EBT adalah bankability project agar sesuai dengan perhitungan perbankan. Langkah yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas feasibility study, sehingga bisa dilirik lembaga peminjam.

Salah satu aksinya adalah perlu dilakukan semacam due diligence untuk memetakan risiko-risiko proyek. Jika sudah dipetakan bisa diminimalisir dalam rentan waktu tertentu.

“Minimalisir, misalnya apakah FS perlu diperbaiki. Harapannya setelah bisa dibenahi, kepercayaan lembaga finance memberikan pinjaman lebih tinggi,” papar Harris.

Menurut dia, sudah dilakukan evaluasi terhadap komponen teknis dari setiap project yang bisa dimasukan nantiny ke detail dari FS yang disusun perusahaan.

Untuk due diligence aspek teknis  dilakukan dengan menggandeng USID. Komponen teknis sangat besar pengaruhnya terhadap perhitungan keseluruhan proyek. Apabila aspek teknis tidak meyakinkan, tentu juga tidak akan meyakinkan dari sisi keekonomian proyek.

“Itu yang dibenahi USID dan hasilnya sudah ada. Ada hal-hal yang perlu diperbaiki dan untuk perbaiki itu ada di FS yang UNDP mau improve, mambentuk asistensi perbaikan FS-nya,” tandas Harris.(RI)