JAKARTA – PT Pertamina (Persero) berpotensi kehilangan mitra dalam menjalankan salah satu proyek pengembangan kilang (Refinery Development Master Plan/RDMP). Saudi Aramco, yang sekarang masih tercatat sebagai mitra pengembangan Kilang Cilacap tidak menyepakati penilaian valuasi aset kilang yang telah ada. Padahal, kesepakatan dalam penilaian valuasi aset Kilang Cilacap menjadi salah satu proses yang harus dilalui Pertamina dan Saudi Aramco.

Ignatius Tallulembang, Direktur Mega Proyek dan Petrokimia Pertamina, mengatakan ada beberapa syarat yang diajukan Aramco dalam negosiasi, yakni   insentif perpajakan, pengadaan lahan serta spin off. Ketiga syarat tersebut dipenuhi Pertamina. Satu poin utama yang tersisa adalah nilai valuasi aset Pertamina di Kilang Cilacap yang akan dijadikan penyertaan modal ke perusahaan patungan (Joint Venture /JV) nantinya.

Kesepakatan pembentukan perusahaan patungan didalamnya termasuk pembahasan nilai valuasi aset sudah berakhir pada Desember 2018. Namun berdasarkan kesepakatan bersama pembahasan diperpanjang hingga Juni 2019.

Pertamina sempat menyodorkan nilai valuasi berdasarkan hasil perhitungan Pertamina,  nilai tersebut langsung ditolak  Saudi Aramco. Akhirnya negosiasi kembali dilakukan dan mengambil solusi untuk menunjuk pihak independen untuk melakukan perhitungan valuasi. PWC pun ditunjuk sebagai konsultan untuk melakukan penilaian valuasi, namun Aramco ternyata masih belum sepakat dengan nilai yang disodorkan konsultan independen.

“Kita pilih independen, internasional. Syarat The Big Four, perusahaan konsultan internasional, kita pilih yang rangking 1 yaitu PwC, kemudian dilakukan perhitungan dan hasilnya dinegosiasikan lagi ke mereka (Saudi Aramco). Tapi belum ketemu (tidak sepakat), walaupun lebih baik dari sebelumnya (nilai valuasi aset),” kata Tallulembang dalam media gathering di Kantor Pusat Pertamina Jakarta, Rabu (24/4).

Pembahasan pengembangan Kilang Cilacap bahkan juga sudah dilakukan di Arab Saudi, saat Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan ke negara itu. Saudi Aramco  juga memaklumi bahwa ada strategi dan kebijakan perusahaan yang menjadi pegangan Pertamina dalam negosiasi.

Meski begitu negosiasi masih terus berlangsung Pertamina sudah memberikan data-data dan parameter perhitungan valuasi aset yang diperlukan untuk bisa dievaluasi pihak Saudi Aramco. Begitu juga Saudi Aramco juga telah memberikan data dan contoh aksi akuisisi perusahaan kepada Pertamina.

“Kita masih coba dengan waktu tersisa sampai Juni akan melakukan pendekatan. Mereka sampaikan contoh akuisisi atau pembelian aset, hitungan kita parameter mereka minta. Targetnya bisa Mei atau Juni,” kata Tallulembang.

Menurut Tallulembang, apabila kesepakatan tidak kunjung tercapai maka Pertamina akan mengambil sikap dengan menjalankan proyek pengembangan Kilang Cilacap tanpa Saudi Aramco. Selain memiliki opsi untuk secara mandiri mengerjakan proyek Cilacap, nantinya Pertamina juga bisa memilih mitra baru.

Pertamina untuk sementara akan mengerjakan sendiri RDMP Cilacap sambil kemudian secara paralel bisa menyeleksi mitra baru. Hal ini juga sudah dilakukan di Kilang Balikpapan yang pada awalnya dibangun sendiri, namun saat ini sedang proses mencari mitra.

“Itu tidak akan jadi penghalang untuk mengembangkan Kilang Cilacap. Kami sudah laporkan ke Menteri ESDM, kalau tidak sepakat, akan lanjutkan dengan biaya sendiri atau cari mitra mengikuti pola di Balikpapan. Jadi kami garap dulu sambil melihat apakah harus cari mitra,” katanya.

Revitalisasi Kilang Cilacap akan meningkatkan kapasitas produksi kilang hingga 400 ribu barel per hari (bph), dari kapasitas saat ini sebesar 358 ribu bph. Meskipun dari sisi volume tidak terlalu besar peningkatannya, tapi kompleksitas produksi kilang akan semakin meningkat tajam dengan standar NCI menjadi 9,4 meningkat pesat dari sebelumnya yang hanya 4.

Pada proyek Kilang Cilacap Pertamina memiliki saham mayoritas 55% dan Saudi Aramco menguasai 45%. Pembagian tersebut sudah sesuai dengan kesepakatan kedua perusahaan dalam head of agreement yang ditandatangani akhir 2015.

Membangun kilang memiliki sifat yang tidak jauh berbeda seperti bisnis hulu migas, karena memerlukan modal besar serta resiko yang juga tinggi. Jika satu kilang yang dibangun, Pertamina bisa membangunnya sendiri akan tetapi ini ada enam proyek kilang yang dikerjakan hampir bersamaan. Karena itu tidak mungkin mengerjakannya tanpa partner.

“Jadi biasanya perusahaan yang lingkungan bisnis, expertise di situ. Belakangan ini ada fenomena orang ingin investasi, tidak melulu refinery pemain kilang, termasuk trading dan financial. Kami cari mitra ada strategis atau refinery partner, trading partner, atau financial partner. Jadi membangun kilang ini tidak gampang,” kata Tallulembang.(RI)