Herland bin Ompo (kemeja putih) usai mendengarkan vonis hakim bioremediasi atas dirinya di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Herland bin Ompo (kemeja putih) usai mendengarkan vonis hakim bioremediasi atas dirinya di Pengadilan Tipikor Jakarta.

JAKARTA – Guru Besar Hukum Pidana Univrsitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Syarif Hiariej menjelaskan, seusai asas dalam hukum pidana, seseorang tidak boleh dihukum hanya karena prasangka. Seperti yang tertuang pada Pasal 2 dan 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dapat dipidana adalah kesalahan yang nyata, artinya kasat mata terlihat dan dapat dibuktikan.

Hal ini diungkapkan Edward, saat menjadi saksi ahli di persidangan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu 29 Mei 2013. Ia dihadirkan sebagai saksi ahli bagi tiga karyawan Chevron yang menjadi terdakwa dalam kasus bioremediasi, yakni Endah Rumbiyanti, Widodo, dan Kukuh Kertasafari.  

“Kalau seseorang dijadikan tersangka, harus ada bukti permulaan. Jika tidak, maka ini disebut unfair prejudice; harusnya bukti permulaan itu sudah ada sebelum orang disangkakan (dijadikan tersangka, red) dalam suatu perkara pidana,” jelas Edward di hadapan majelis hakim kasus bioremediasi yang diketuai Sudharmawati Ningsih.

Edward pun menerangkan, tentang adanya asas hukum yang menyatakan bahwa seseorang tidak boleh dihukum hanya berdasarkan satu prasangka belaka. Oleh karena itu, dalam pertanggungjawaban pidana yang memiliki elemen terpenting adalah kesalahan. “Maka kesalahan itu harus nyata,” tegasnya.

Tiga hal yang terkait dengan kesalahan, lanjut Edward, adalah kemampuan bertanggung jawab, hubungan antara pelaku dan perbuatan yang dilakukan yang melahirkan suatu kesalahan, serta tidak adanya alasan penghapus pertanggungjawaban pidana.

“Jika seseorang dijadikan tersangka sebelum unsur terpenuhi ini disebut unfair prejudice atau prasangka yang tidak wajar, ini harus dihindari,” tandasnya.

Edward menambahkan, perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana adalah dua hal yang berbeda. Perbuatan pidana berkaitan dengan asas legalitas, sedangkan pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan asas kulpabilitas. “Disini terkandung asas tiada pidana tanpa kesalahan,” paparnya.

Ia juga menerangkan di hadapan majelis hakim, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh UU, dan ada ancaman bagi barang siapa yang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut. Untuk menerapkan pidana, ada hukum acara pidana yang mengaturnya. “Hukum acara harus tertulis, dan tidak boleh diinterpretasikan selain yang tertulis. Jadi hukum acara itu mandatory,” jelasnya.

Tersangka Dulu Bukti Belakangan

Secara terpisah, Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan mengakui, sejak kasus bioremediasi bergulir setahun lalu, ia sudah melihat banyak kejanggalan yang terjadi. Salah satunya penetapan Endah, Widodo, dan Kukuh sebagai tersangka oleh penyidik Kejaksaan Agung, sebelum ada bukti kerugian negara atau bukti adanya pelanggaran peraturan lingkungan hidup, yang mestinya dinyatakan oleh lembaga yang berwenang, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

“Laporan perhitungan kerugian negara atas permintaan Kejagung baru disampaikan BPKP pada November 2012, sementara ketiga rekan kami sudah dijadikan tersangka korupsi pada Maret 2012, dan sudah ditahan sejak September 2012. Artinya mereka ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan oleh aparat sebelum ada bukti awal yang cukup sesuai ketentuan hukum, “ ungkap Dony, Kamis, 30 Mei 2013.

“Perhitungan BPKP atas kerugian negara ini pun hanya mengacu kepada keterangan ahli Kejaksaan Agung, Edison Effendi, yang sarat kepentingan karena beberapa kali kalah tender proyek bioremediasi Chevron, yang menyatakan bahwa proyek kami fiktif,”  lanjut Dony.

Tidak Ada Kerugian Negara

Dalam persidangan, kata Dony lagi, tidak ada bukti kerugian negara, karena Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) telah menyatakan bahwa biaya proyek bioremediasi belum dikembalikan (di-cost recovery) oleh pemerintah kepada Chevron. KLH pun sebagai regulator yang berwenang sesuai Undang-Undang Lingkungan, menyatakan bahwa proyek bioremediasi Chevron telah taat hukum.

Terlebih, terang Dony, dalam skema PSC (Production Sharing Contract) yang menjadi landasan operasi Chevron dan proyek bioremediasi ini, karyawan yang menjalankan tugas dalam program-program perusahaan, tidak bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kontrak PSC. Karena kontrak ini adalah antara Chevron sebagai korporasi dan Pemerintah Indonesia yang diwakili SKK Migas.

“Vonis kepada kedua kontraktor kami memang telah terjadi dan sangat kami sesalkan. Namun kami masih menyimpan harapan besar, para hakim  dan jaksa bisa membuka hati dan pikiran, untuk menerima dan menilai fakta-fakta persidangan ini sebagai dasar untuk membuat keputusan yang obyektif dan adil. Semoga kekeliruan sebelumnya tidak dilakukan kembali, sebagai bukti komitmen atas sumpah jabatan (hakim) sebagai wakil Tuhan di muka bumi,” pungkasnya.

Seperti diketahui, sebelumnya Majelis Hakim yang diketuai Sudharmawati Ningsih telah menjatuhkan vonis kepada Ricksy Prematuri dan Herland bin Ompo. Keduanya adalah pimpinan perusahaan kontraktor Chevron dalam proyek bioremediasi.

Vonis 5 tahun penjara untuk Ricksy dan 6 tahun penjara untuk Herland tetap dijatuhkan majelis hakim, meski seluruh  fakta yang terungkap di persidangan, maupun saksi-saksi yang dihadirkan menyatakan proyek bioremediasi Chevron tidak melanggar aturan,

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)