JAKARTA – Polemik pembahasan revisi Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (Minerba) terus berlangsung. Salah satu aturan yang dinilai bisa dimanfaatkan oknum tambang untuk melegalkan berbagai kegiatan tambangnya dengan mengorbankan masyarakat adalah ketentuan dalam pasal 162. Pasal tersebut dinilai sebagai pasal karet karena berpotensi besar mengkriminalisasi masyarakat yang menolak kegiatan tambang di wilayahnya.

Pasal itu berbunyi setiap orang yang merintangi atau menganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IPR, IUPK, atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat (dalam pasal 136 ayat 2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp100 juta.

Tidak hanya itu, ancaman bagi masyarakat penolak tambang juga ditambah pada pasal 164, yakni dapat dikenakan pidana tambahan berupa perampasan barang yang digunakan untuk melakukan tindakan pidana, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dan/atau kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.

Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM. mengatakan implementasi penerapan pasal 162 tidak sembarangan dikenakan kepada setiap masyarakat yang menolak. Maksud dari pasal tersebut apabila kegiatan suatu pertambangan yang mulai dari awal itu dan telah dilakukan pemberian izin lelang dan sebagainya kemudian ditemukan cadangan. Lalu, Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) juga sudah disetujui pemerintah daerah. Serta dari sisi teknologi dan keekonomian, hak atas tanah juga telah terpenuhi, lalu masyarakat menentang kegiatan tambang, baru itu bisa diancam pasal 162.

“Jadi pasal itu maksudnya apabila sudah terpenuhi semua, tapi tetap ada yang menghalangi,” kata Bambang dalam diskusi RUU Minerba secara virtual, Rabu (29/4).

Menurut Bambang, masyarakat adat masih memiliki hak untuk menolak kegiatan tambang. Salah satu syarat kegiatan tambang adalah telah memenuhi kriteria Amdal serta lingkungan masyarakat sekitar. Status wilayah tersebut harus Clean and Clear terlebih dulu baru bisa mendapatkan izin tambang, apabila wilayah pertambangan tersebut ternyata masih sengketa, perizinan tidak jelas, melanggar ketentuan lingkungan ataupun merugikan warga, maka masyarakat tetap memiliki hak menolak keberadaan pertambangan tersebut.

Ini terjadi pada kegiatan tambang emas di Silo, Jember, Jawa Timur. Bambang menceritakan masyarakat sekitar menolak adanya kegiatan tambang di wilayah mereka setelah melalui proses yang sesuai prosedur maka pemerintah juga mengambil tindakan dengan mencabut status wilayah Silo dari Wilayah Usaha Pertambangan.

“Apapunlah wilayah jenis pertambangan itu mesti konsultasi kepada aparat di yang ada di daerah. Contoh di Silo, Jember kan masalah akhirnya dibatalkan pemerintah statusnya. Dan enggak bisa dilelang,” kata Bambang.(RI)