JAKARTA – Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sudah memasuki tahap Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi VII DPR. Rancangan tersebut sangat penting untuk menciptakan mekanisme pasar dan permintaan (demand) yang lebih pasti untuk mengembangkan energi terbarukan di tanah air.

Jannata Giwangkara, Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan terlepas dari sukses atau tidaknya RUU ini sebaiknya untuk fokus di energi terbarukan (ET) saja, porsi energi berbasis fosil harus bisa ditekan agar bauran energi terbarukan bisa lebih meningkat.

“Sudah ada sejumlah instrumen positif yang muncul dalam draft RUU yang dapat menciptakan mekanisme pasar dan permintaan tersebut,” kata Jannata, dalam diskusi media “Urgensi Energi Bersih dalam RUU EBT” Rabu (23/9).

Instrumen dimaksud seperti Standar Portofolio Energi Terbarukan (SPET) dan Sertifikat Energi Terbarukan (SET) yang bisa menciptakan dan mengakselerasi jumlah permintaan energi terbarukan yang selama beberapa tahun terakhir stagnan, bahkan menurun. SPET diharapkan bisa mewajibkan badan usaha energi untuk membangun atau memproduksi energi terbarukan dari portofolio yang sudah ada.

“Misal, perusahaan batu bara, saat ini sudah mengembangkan lini bisnis ke arah energi terbarukan. Ini karena mereka sadar ET akan menjadi bisnis baru yang menguntungkan di masa depan. Sementara, Sertifikat ET untuk mekanisme jual beli produksi energi terbarukan,” ujar Jannata.

Dia menambahkan, pembahasan RUU EBT yang saat ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020, harus tidak kalah progresif dengan pembahasan dan penyelesaian RUU Cipta Kerja, dan seharusnya hanya fokus untuk energi terbarukan saja. Apalagi proses penyusunan RUU ini sudah dimulai sejak Januari 2017 saat Komisi II DPD RI mengadakan RDPU dengan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI).

Jannata menyampaikan dari 13 negara di Asia Pasifik, sembilan negara di antaranya sudah memiliki UU khusus untuk energi terbarukan, bahkan sudah ada sejak tahun 2000.

“Untuk Indonesia, pemerintah memang sudah lebih dahulu menerbitkan UU Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi, ketimbang mengatur energi terbarukan secara umum. Sehingga sudah menjadi semakin urgent memiliki UU tersendiri untuk energi terbarukan dalam era transisi energi dan dekarbonisasi ini,” ujarnya.

Jannata menekankan, Indonesia juga memiliki target bauran energi. Terpenuhinya target bauran energi terbarukan di energi primer sebesar 23% pada 2025 sangat penting bagi pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29-41 persen pada 2030 dan komitmen Indonesia dalam Kesepakatan Paris. Sayangnya, pengembangan energi terbarukan di Indonesia sangat lambat, hingga 2018 baru mencapai 8,6%. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor salah satunya adalah kesenjangan kebijakan dan regulasi.

“Tahun 2020 dapat menjadi momentum penentu dan titik balik bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan, baik untuk mencapai target-target di tanah air, maupun kemajuan energi terbarukan di tingkat regional,” tandas Jannata.(RA)