JAKARTA – Hilirisasi batu bara seharusnya  dan sudah sepatutnya direalisasikan sejak lama untuk memicu peningkatan nilai tambah. Namun demikian syarat pemberian insentif berupa pembebasan royalti bagi pelaku usaha agar hilirisasi bisa direalisasikan tidak bisa dijadikan satu-satunya jalan keluar.

Bisman Bachtiar, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (PUSHEP), mengatakan pengaturan royalti 0% sebagai insentif bagi perusahaan pertambangan terlalu berlebihan.

“Sudah banyak insentif yang diberikan kepada  perusahaan melalui UU Minerba yang baru saja disahkan. Saat ini masih ditambah lagi royalti 0%. Ini terlalu berlebihan, seharusnya cukup dikurangi persentasenya, tapi tidak sampai 0%,” kata Bisman kepada Dunia Energi, Rabu (14/10).

Menurut Bisman, jika sudah diimplementasikan maka jelas akan langsung berpengaruh pada pendapatan negara. Dia pun mengingatkan bahwa adanya royalti merupakan wujud dari bahwa batu bara sebagai sumber daya alam merupakan kekayaan yang dikuasai negara. “Sehingga setoran dalam bentuk royalti harus ada,” ujar Bisman.

Selain itu, pengawasan terhadap implementasi kebijakan 0% ini harus menjadi perhatian. Dia khawatir hilirisasi hanya janji dari perusahaan selama karena yang harus diperhatikan adalah bisa saja hilirisasi terus dijanjikam tapi tidak kunjung direalisasikan tapi di sisi lain pelaku usaha yang sudah menjanjikan sudah menikmati fasilitas royalti 0%.

“Ini berpotensi adanya penyimpangan dengan “kedok proyek hilirisasi” untuk menghindari royalti,” tegas Bisman.

Aturan pengenaan royalti 0% tertulis dalam UU Cipta Kerja yang baru disahkan DPR RI dalam paragraf 5 klaster energi dan sumber daya mineral Pasal 128A (1) yang menyebutkan kelonggaran pembayaran royalti kepada pemerintah.

Merah Johansyah, juru bicara JATAM Nasional, mengatakan semua terjadi karena legislasi UU Cipta Kerja sudah tersandera dalam konflik kepentingan, para aktor oligarki politik dan bisnis dalam DPR sudah bercampur-baur.

Menurut Merah, diskon royalti hingga 100%  akan menguntungkan perusahaan tambang. Di sisi lain, hal itu berarti menggratiskan batu bara demi menyelamatkan pengusaha, sementara bagi penerimaan negara dan daerah yang selama ini bergantung pada batu bara akan turun drastis. Di saat yang sama, eksploitasi justru terjadi di daerah.

“Sebanyak 50% isi anggota DPR dan pimpinannya juga terhubung dengan bisnis batu bara. Bahkan Satgas Omnibus Law yang ikut menyusun pun berisi para komisaris dan direktur perusahaan batu bara yang juga akan menerima manfaat dari kebijakan UU Cipta Kerja ini sendiri,” kata Merah.

Moody’s Investor Services mencatat sejumlah perusahaan batu bara besar sudah mengalami kesulitan keuangan, dengan utang jatuh tempo pada 2020, 2021, dan 2022. Total utang perusahaan-perusahaan tersebut mencapai US$ 2,9 miliar atau sekitar Rp 42 triliun yang akan jatuh tempo pada 2022. Utang tersebut berbentuk kredit perbankan maupun obligasi.(RI)