JAKARTA – Rencana melepas saham ke publik melalui mekanisme penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) subholding PT Pertamina (Persero) dinilai menjadi akses untuk mendapat dana murah, akses dana jangka panjang, memperoleh citra yang baik, dan meningkatkan nilai perusahaan. Serta memperoleh insentif pajak. Namun karena mata rantai bisnis atau anak usaha yang harus dijual adalah yang terbaik dan menguntungkan, Pertamina bakal akan memiliki dan mengelola bisnis-bisnis ampas yang tidak menguntungkan.

“Jika prospek bisnisnya tidak menguntungkan atau tidak jelas, siapa yang akan beli?” ujar Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Rabu (8/7).

PT Pertamina Hulu Energi (PHE), anak usahanya Pertamina di sektor hulu migas yang kini menjadi subholding hulu dan menaungi seluruh anak-anak usaha Pertamina di sektor hulu disebut-sebut menjadi kandidat terkuat yang akan di-IPO.

Menurut Marwan, dengan melepas satu per satu mata rantai bisnis yang menguntungkan dari BUMN seperti Pertamina sesuai skenario kapitalis-liberal, atau dikenal juga dengan istilah unbundling, maka BUMN hanya akan menikmati bisnis ampas yang kurang menguntungkan. Lambat laun, semua lini bisnis yang menguntungkan akan terjual, dan untung yang diperoleh akan lebih banyak dinikmati asing atau para pengusaha kapitalis-liberal.

Padahal, kata Marwan, jika semua lini bisnisnya berjalan utuh secara bundled, maka BUMN/Pertamina dapat melakukan fungsi-fungsi strategis negara secara optimal, terutama melakukan fungsi cross-subsidy antar wilayah dan antar konsumen yang hingga saat ini mengalami kesenjangan yang lebar. Selain itu, merujuk Pasal 2 UU BUMN Nomor 19 Tahun 2003, tujuan pembentukan BUMN antara lain berkontribusi terhadap ekonomi nasional dan melakukan tugas perintisan. Hal ini tidak akan opitimal oleh anak-anak usaha yang telah go public. Sebaliknya, kemampuan Pertamina untuk cross-subsidy akan berkurang karena sebagian untuk telah beralih kepada perusahaan lain.

“Salah satu contoh ironis yang dilakukan pemerintahan pro-asing, pro kapitalis-liberal saat ini adalah membiarkan SPBU-SPBU asing atau swasta berbisnis di kota-kota besar di Indonesia. Sementara Pertamina wajib menyediakan BBM hingga pelosok negeri dengan beban biaya sangat besar. Dengan bisnisnya dibiarkan digerogoti asing, maka kemampuan Pertamina melakukan cross subsidy semakin berkurang, atau sebagian malah harus ditanggung APBN,” ujar Marwan.

Marwan mengaku tidak anti modal asing dan dapat saja menerima skema IPO agar BUMN dapat memperoleh dana atau modal. Namun, jika modal dan citra diperoleh dengan melanggar konstitusi, serta mengorbankan kedaulatan dan prinsip-prinsip strategis negara yang bernilai kualitatif, maka hal tersebut harus ditolak. Selain itu, jika aspek moral hazard dan nuansa perburuan rente seputar IPO dan prosesnya ikut diperhitungkan, maka keuntungan kuantitatif akses dana murah dan dana jangka yang diperoleh melalui skema IPO pun justru akan sirna.

Menurut Marwan, dalam dunia akademis dikenal adanya tools yang sering digunakan dalam pengambilan keputusan penting dan strategis. Tools tersebut antara lain adalah Cos-Benefit Analysis (CBA) dan Multi-Criteria Decision Analysis (MCDA). Pada CBA, keputusan diambil terutama pada kriteria ekonomi-keuangan. Pada MCDA, keputusan daiambil dengan mempertimbangkan berbagai kriteria seperti ekonomi-finansial, legal-konstitusional, sosial-politik, dan lain-lain. Kriteria-kriteria tersebut pun lumrah diberi bobot bebeda-beda sesuai urgensi dan prioritas.

“Dalam rencana IPO subholding Pertamina, tampaknya yang dipilih adalah metode CBA. Seperti disebut di atas, metode ini pun justru bisa tidak valid, jika prilaku moral hazard berperan dalam proses IPO. Padahal, karena Pasal 33 UUD 1945 masih berlaku, kondisi kesenjangan sosial antar wilayah yang harus diatasi dengan cross-subsidy dan ketahanan energi nasional yang masih sangat rendah, maka seharusnya yang dipilih mengambil keputusan adalah metode MCDA,” ungkap Marwan.

Dia mengatakan bahwa kebutuhan dana dapat diperoleh melalui penerbitan obligasi. Karena selama ini Pertamina sudah biasa menerbitkan obligasi dengan tingkat bunga/kupon yang justru lebih rendah dibanding kupon obligasi terbitan pemerintah.

“IRESS meminta pemerintah, terutama Menteri BUMN Erick Thohir untuk membatalkan rencana IPO anak-anak perusahaan Pertamina. Perintah Erick kepada Dirut Nicke bukan sesuatu yang relevan dan legal untuk otomatis harus dijalankan seperti mungkin berlaku pada perusahaan milik swasta atau pribadi. BUMN itu adalah badan usaha milik negara, bukan milik seseorang seperti pernah diungkap Erick,” tandas Marwan.(RA)