JAKARTA – Perubahan iklim merupakan tantangan global terbesar saat ini. Laporan Kajian Ke-5 (Assessment Reports 5 atau AR5) Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa suhu bumi telah meningkat sekitar 0,8 derajat Celcius selama abad terakhir. Pada akhir 2100, suhu global diperkirakan akan lebih tinggi 1,8 – 4 derajat Celcius dibandingkan rata-rata suhu pada 1980-1999. Kenaikan suhu ini setara dengan 2,5 – 4,7 derajat Celcius jika dibandingkan periode pra-industri atau tahun 1750.

Permasalahan dan dampak perubahan iklim telah mendorong Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992 yang menghasilkan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim atau UNFCCC. Dalam hal ini UNFCCC bertujuan menstabilisasi konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim sehingga ekosistem dapat memberikan jaminan pada produksi pangan dan keberlanjutan pada pembangunan ekonomi.

Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan negara-negara di Skandinavia dan Jerman sudah mencanangkan transisi ke energi terbarukan 100% pada 2050.

“Tren saat ini memang terjadi transformasi dari energi fosil ke energi terbarukan. Bisa dipahami jika sejumlah perusahaan minyak dan gas (migas) mulai mereposisi bisnis dan juga me-rebranding dari oil company ke energi sebagaimana dilakukan Total, perusahaan migas dari Perancis,”ungkap kepada Dunia Energi, Kamis (11/2).

Surya Darma mengungkapkan saat ini beberapa perusahaan multi nasional Amerika Serikat juga mulai me-rebranding ke energi.

“Kecuali yang masih fokus migas hanya Chevron dan Mobil,” ungkap Surya Darma.

Pemanfaatan energi di Indonesia saat ini masih mengandalkan energi fosil, baik yang disubsidi maupun yang berasal dari impor. Di sisi lain, potensi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) Indonesia sangat melimpah mencapai lebih dari 417,8 Gigawatt (GW).

Hingga saat ini, EBT baru dimanfaatkan sebesar 10,4 Gigawatt (GW) atau sekitar 2,5 %. Sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pada tahun 2025 peran EBT dalam bauran energi nasional ditargetkan mencapai 23% dan diharapkan terus meningkat menjadi 31% pada tahun 2050.

Ketergantungan kepada energi impor menjadi salah satu tantangan berat pemerintah dalam menjaga ketahanan energi nasional.

Surya Darma menekankan optimalisasi pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia membutuhkan investasi yang cukup besar. Tren transformasi energi diharapkan berdampak positif bagi iklim investasi energi terbarukan di Indonesia.

“Mereka semua (perusahaan multinasional) sangat berpotensi untuk investasi di Indonesia yang punya peluang besar karena kita butuh pendanaan yang besar untuk mengembangkan energi terbarukan sesuai target vauran energi nasional tahun 2035 dan tahun 2050,” tandas Surya Darma.(RA)