JAKARTA – Prospek harga minyak dunia pada awal 2019 diprediksi masih akan negatif seiring sinyal ekonomi global yang masih akan melambat. Risiko geopolitik yang belum berakhir dalam bentuk ketegangan dagang antara Amerika Serikat-China menjadi masalah signifikan terhadap prospek permintaan minyak, dan banyak negara yang melaporkan data ekonomi yang lebih lemah.

“Ini menyiratkan bahwa bears tetap memegang kendali terhadap fluktuasi minyak di jangka pendek,” kata Lukman Otunuga, Research Analyst FXTM, Selasa (8/1).

Menurut Lukman, kekhawatiran mengenai perlambatan ekonomi global lebih dominan dibanding topik OPEC, karena perhatian pasar akan terfokus pada masalah perlambatan global yang meningkatkan ketidakpastian dan mendorong aksi jual aset berisiko seperti minyak.

“Memasuki tahun 2019, harga minyak akan terombang-ambing oleh sejumlah faktor fundamental yang saling berlawanan,” kata Lukman dalam materi analisis pasarnya.

Keadaan pasar yang tidak pasti juga akan mewarnai prospek jangka menengah dan panjang. Pemangkasan produksi OPEC dan Rusia dapat mengurangi pasokan yang berlebih, namun juga akan mendorong produksi minyak AS yang lebih tinggi sehingga mengekspos pasar minyak pada masalah oversuplai yang lebih besar lagi.

Keadaan dagang AS-China yang semakin tegang, keadaan ekonomi global, dan terutama permintaan minyak China akan sangat memengaruhi permintaan. Pertanda bahwa ekonomi China semakin melambat di tengah ketegangan dagang akan menjadi berita yang sangat buruk bagi pasar energi, terutama mengingat bahwa Asia adalah konsumen besar di pasar minyak.

Penggerak lain yang memengaruhi harga minyak di kuartal I, antara lain kinerja dolar AS dan Tweet dari Presiden AS Donald Trump. Dolar AS yang melemah di tengah spekulasi bahwa Fed akan menghentikan sementara kenaikan suku bunga akan berdampak positif bagi harga minyak karena denominasi komoditas ini adalah dolar AS.

Presiden Trump sudah merayakan harga minyak yang rendah melalui Twitter dan memprediksi penurunan lebih lanjut tahun ini. Karena itu, investor perlu bersiap menghadapi kuartal trading yang tetap volatil.

Dari sudut pandang teknis, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) jelas bearish di rentang mingguan dan bulanan. Penutupan tahunan tegas di bawah US$50 pada 2018 menandakan bahwa bears tetap memegang kendali dan level perhatian penting berikutnya adalah US$45, US$43, dan US$36.

Trader mingguan akan mencermati bagaimana harga bereaksi terhadap level US$43 dan menggunakan rentang ini untuk menilai apakah pantulan teknikal mungkin terjadi.

Pada rentang harian, WTI tetap bearish. Level support sebelumnya yaitu sekitar US$50 dapat membuka jalan menuju US$43. Sebaliknya, breakout di atas $50 dapat membuka jalan menuju $55.30.

“Dinamika permintaan-penawaran jelas tidak terlihat menguntungkan bagi pasar minyak, dan bears menguasai WTI,” tandas Lukman.

Harga minyak pada penutupan perdagangan Senin (Selasa pagi WIB) tercatat rebound lebih lanjut dari tingkat terendah satu setengah tahun yang dicapai pada Desember, didukung pengurangan produksi OPEC dan penguatan di pasar saham.

Patokan global, minyak mentah Brent untuk pengiriman Maret naik US$0,27  atau 0,47%, menjadi US$57,33 per barel di London ICE Futures Exchange.

Sementara itu, minyak mentah AS, WTI untuk pengiriman Februari naik US$0,56 atau 1,17% menjadi US$48,52 di New York Mercantile Exchange.(AT)