JAKARTA – Proses panjang masih harus dilalui untuk menerbitkan payung hukum untuk mempercepat hilirisasi batu bara. Bambang Gatot Ariyono, Dirjen Mineral dan Batu bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan banyak aspek yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan aturan tentang pelaksanaan hilirisasi batu bara, terutama gasifikasi. Salah satunya mengenai kewenangan masing-masing direktorat jenderal.

Hilirisasi batu bara, kata Bambang, bisa menghasilkan produk yang jauh berbeda dari batu bara seperti gasifikasi maupun pencairan batu bara.

“Tergantung nanti jadinya seperti apa, misal gasifikasi transisi ke migasnya kapan. Kalau briket atau upgrading, enggak mungkin ke migas,” kata Bambang saat ditemui di Kementerian ESDM, Selasa (22/1).

Lebih lanjut ia menuturkan peningkatan nilai tambah batu bara melalui regulasi yang bisa mengatur pelaksanaan secara detail masih belum tampak hingga saat ini.

Hilirisasi batu bara sebenarnya sudah diatur dalam dalam level undang-undang dan peraturan pemerintah. Namun, belum ada kepastian terkait teknis pelaksanaan.

“Itu masih belum firm. Hilirisasi sudah diatur, tapi masalahnya di pelaksanaan,” tukas Bambang.

Peraturan Pemerintah  77/2014 baru mengatur jenis-jenis  pengolahan batu bara untuk peningkatan nilai tambah yaitu peningkatan mutu (upgrading), pembuatan briket (briquetting), pembuatan kokas (cokes making), pencairan (liquefaction), gasifikasi (gasification), dan coal slurry/coal water mixture.

Menurut Bambang, jenis penghiliran seperti gasifikasi memang masih belum diminati. Pasalnya, sejauh ini belum ada proyek yang sudah terbukti ekonomis.

Hingga saat ini baru PT Bukit Asam Tbk yang paling serius dalam hilirisasi batu bara. Bersama PT Pertamina (Persero) dan Air Products and Chemicals Inc. ketiganya telah menandatangani pokok-pokok perjanjian pembentukan perusahaan patungan (joint venture/JV) untuk proyek gasifikasi batu bara dari tambang Bukit Asam di Peranap, Riau. Proyek tersebut rencananya memiliki kapasitas produksi 1,4 juta ton Demethyl Ether (DME) dengan kebutuhan batu bara sebanyak 9,2 juta ton per tahun.

Arviyan Arifin, Direktur Utama Bukit Asam, sebelumnya mengatakan DME yang dihasilkan dari hilirisasi tersebut sebagai solusi untuk menekan impor LPG, sehingga dapat menghemat devisa negara secara langsung.

“Hilirisasi yang dilakukan Bukit Asam diperkuat dengan total sumber daya batubara sebesar 8,3 miliar ton dan total cadangan batu bara sebesar 3,3 miliar ton,” kata Arviyan.

Proyek hilirisasi batu bara berikutnya yang sudah dicanangkan Bukit Asam dan Pertamina pada akhir 2017 dengan menggandeng PT Pupuk Indonesia (Persero), dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk di Tanjung Enim, Sumatera Selatan.(RI)