JAKARTA – Pemerintah secara jelas menyatakan bahwa program campuran solar dengan biodiesel akan terus ditingkatkan dan ke depan bisa menjadi salah satu jalan keluar dari tingginya impor minyak dan BBM Indonesia selama ini. Dalam pidato sidang tahunan Presiden hari ini, Joko Widodo  mengatakan bahwa pada tahun 2019 Indonesia telah berhasil memproduksi dan menggunakan B20, dan di tahun 2020, telah mulai dengan B30 sehingga mampu menekan nilai impor minyak di 2019. Selain itu, Presiden juga mengatakan bahwa program D100, yaitu bahan bakar diesel yang berasal dari 100% kelapa sawit sedang uji produksi dan akan menyerap minimal 1 juta ton kelapa sawit petani untuk kapasitas produksi 20 ribu barel per hari.

Hal tersebut tentu seakak menjadi angin segar bagi para petani. Pasalnya selain itu program ini juga diklaim bisa menjadi jalan keluar bagi para petani sawit untuk memasarkan produknya ditengah ancaman larangan impor Crude Palm Oil (CPO) oleh negara-negara Eropa.

Munsuetus Darto, Sekretaris Jendral (Sekjen) Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKP) mengungkapkan maksud dan tujuan penerapan B30 dan rencananya akan ditingkatkan menjadi B40 maupun B50 memang bagus. Hanya saja selama ini tidak ada manfaat yang dirasakan oleh petani langsung.

Menurut Darto ada praktek monopoli mata rantai oleh industri biodiesel sehingga merugikan para petani sawit. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) yang selama ini dibentuk untuk mengelola dana pungutan ekspor kelapa sawit tidak menjalankan tugasnya dengan baik.

Ini bisa dilihat dalam rentang waktu 2015-2019 realisasi penggunaan dana dari pungutan eskpor sawit berjumlah Rp 33,6 triliun atau 89,86% dari dana yang telah dikumpulkan Rp 47,28 triliun tersebut dialokasikan untuk insentif biodiesel sedangkan untuk Program Peremajaan Sawit Rakya hanya 8,03%, sisanya dialokasikan untuk Pengembangan dan penelitian, Sarana Produksi Pertanian, Promosi Kemitraan, dan Pengembangan SDM yang tidak sampai 1%.

Sayangnya industri biodiesel yang selama ini mendapatkan insentif ternyata memonopoli pasokan kelapa sawit yang jadi bahan baku pembuatan biodiesel. Dewan pengarah BPDP-KS yang ditetapkan melalui permenko Menkoperekonomian No. 134/2020 terdiri juga dari orang-orang yang juga merupakan pemilik dan terafiliasi dengan perusahan-perusahan sawit besar sebut saja Sinar Mas, Wilmar Group, Gama Plantation, dan Tri Putra Group.

Adapun deretan dewan pengarah tersebut yakni ada Franky Oesman Widjaja dari Sinari Mas yang kuasai lahan 502.847 hektar (ha). Lalu ada Marua Sotorus dari Mitra Wilmar Group dan Gama Plantation. Wilmar sendiri kuasai lahan 342.850 ha serta ada nama Arif Partrict rahmat dari Tri Putra Grup. Arif sendiri adalah anak dari TP Rahmat anggota dewan pengarah BPDPKS terdahulu.

Menurut Darto telah terjadi ketidakadilan dalam alokasi dana BPDP-KS dan program-program BPDP-KS yang hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar dan sangat merugikan petani-petani swadaya.

“ Wilmar misalnya dalam pengembangan B20, perusahaan ini memperoleh pasokan dari 83 perusahaan sawit, dimana 3 group perusahaan pemasok berasal dari Malaysia dan 1 group perusahaan dari Srilangka, rantai pasol biodiesel  lebih mementingkan pihak asing dan tidak melibatkan petani sawit Indonesia,” kata Darto dalam diskusi virtual, Jumat (14/8).

Ricky Amukti, Manager Research Biodiesel Traction melihat ada tiga persoalan dalam industri biodiesel. Pertama, Persoalan ekonomi biodiesel yakni B30 akan menghadapi defisit CPO di tahun 2023, Petani belum mendapatkan manfaat ekonomi, dan gap harga antara harga solar dan biodiesel masih tinggi. Kedua, persoalan lingkungan yakni deforestasi lingkungan dan belum ada kewajiban menggunakan methane capture untuk mengurangi polusi, serta ketiga, permasalahan sosial yakni akan menimbulkan konflik sosial.

“Perlu adanya evaluasi menyeluruh kebijakan dari program biodiesel dari hulu ke hilir untuk mencegah defisit biodiesel, harmonisasi kebijakan kementrian dan Lembaga terkait, membuat peta jalan kebijakan biodiesel, memberlakukan insentif dan subsidi bersyarat kepada perusahaan dengan bermitra dengan petani sawit, serta mempertimbangkan potensi bahan baku biodiesel yang lain,” jelas Ricky.

Ansi Lema Anggota Komisi VII DPR RI menegaskan bahwa semua stakeholder industri sawit untuk berhati-hati soal monopoli termasuk monopoli harga sawit oleh perusahaan-perusahaan sawit. “Memang saya masih belum melihat keberpihakan dan perlindungan negara kepada semua petani, termasuk petani sawit,” kata Ansi.(RI)