JAKARTA – Pemerintah merevisi penggunaan etanol untuk bahan bakar kendaraan. Sidang Dewan Energi Nasional (DEN) ke-24 memutuskan revisi penggunaan etanol seiring rendahnya produksi etanol nasional.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan pemerintah berencana mendorong penggunaan etanol sebagai bahan bakar sebesar lima persen, namun hal itu terkendala kesiapan produksi. Demi tetap memastikan  program pemanfaatan untuk bahan bakar berjalan,  implementasi penggunaan etanol direvisi.

“Pemerintah mendorong etanol untuk bahan bakar. Program ini dibicarakan akan dimulai dengan etanol dua persen. Ini terkendala dari sisi suplai karena belum mencukupi program etanol lima persen, karena itu dimukai etanol dua persen,” kata Arcandra saat konferensi pers di Kementerian ESDM Jakarta, Selasa (19/12).

Pencampuran etanol sesuai dengan amanat Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain.Dalam beleid tersebut diamanatkan penggunaan bioetanol untuk usaha mikro, perikanan, pertanian, transportasi dan pelayanan umum (PSO) pada 2016 adalah sebesar dua persen terhadap kebutuhan total dan meningkat sebesar 5% pada 2020 dan meningkat menjadi 20% pada Januari 2025.

Untuk transportasi non PSO, industri dan komersial penggunaannya sejak 2016 terhadap kebutuhan total harusnya sebesar 5% dan pada  2020 menjadi sebesar 10%. Pemanfataannya akan ditingkatkan pada lima tahun berikutnya sebesar 20%.

Selain itu, khusus untuk penggunaan bahan bakar transportasi pemerintah juga harus memastikan kesiapan para produsen kendaraan.

“Etanol kaitannya erat dengan produsen mobil apakah mereka perlu juga kami sosialisaiskan etanol 5%,” ungkap Arcandra.

Achdiat Atmawinata, Anggota DEN, mengungkapkan dalam data produksi etanol saat ini 50% dari kebutuhan, bahkan tidak bisa dipenuhi dari dalam negeri. Jika ingin menerapkan etanol 5% maka jumlah yang dibutuhkan sebesar 145 ribu kiloliter (KL) per tahun.

“Kurang lebih ketersediaan sekarang 42 ribu KL per tahun,” kata Achdiat.

Pemerintah sebenarnya dilema dalam pengadaan etanol. Bahan baku etanol adalah tebu, sementara ada varian produk yang bisa dihasilkan tebu selain etanol, yakni gula dan alkohol. Untuk itu jika mau meningkatkan produksi etanol maka produksi tebu yang selama ini dihasilkan oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) harus juga ditingkatkan.

“Tinggal kita mau tanam banyak tidak tebu. Terus menarik tidak dijadiin etanol atau dijadiin gula. Intinya kita harus surplus,” tegas Achdiat.

DEN merekomendasikan implementasi bioetanol 2% akan dimulai dari wilayah Jabodetabek yang akan dicampur dengan bahan bakar research octane number (RON) minimal 92.

Achdiat mengakui konsekuensi dari penerapan etanol dalam bahan bakar adalah adanya penambahan biaya yang otomatis berpengaruh terhadap harga BBM. Namun Ia memastikan harga yang dibanderol bagi BBM campuran etanol nantinya tidak akan jauh berbeda dengan harga BBM saat ini. “Selisihnya sedikit. Tipis sekali,” tandas dia.

Selain produksi etanol yang terbatas, DEN sebenarnya pernah merekomendasikan insentif bagi penerapan E5. Hal ini dikarenakan masih tingginya biaya pengolahan etanol sehingga berdampak pada harga bahan bakar campuran etanol nantinya.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.62/PMK.011/2010 dan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: P – 22/BC/2010 telah menetapkan adanya cukai yang dikenakan terhadap etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya.

DEN meminta ada integrasi antar kementerian untuk bisa menerapkan biofuel secara maksimal yakni antara Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian serta para industri otomotif.(RI)