JAKARTA – Repsol didorong untuk memproduksi gas dari Sakakemang secara bertahap agar tidak perlu menunggu waktu lama blok tersebut bisa berproduksi.

Dwi Soetjipto, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), mengatakan dalam usulannya ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) produksi dalam rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) tahap I Sakakemang hanya sebesar 85 juta kaki kubik per hari (MMscfd).

“POD I itu produksinya 85 MMscfd dan sekarang sedang diskusikan dengan ESDM untuk approval,” kata Dwi dalam konferensi pers virtual, Jumat (23/10).

Dengan produksi sebesar itu maka diharapkan harga gas dari blok Sakakemang tidak terlalu tinggi dan bisa mengikuti aturan tentang harga gas yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk industri dan pembangkit listrik maksimal US$6 per MMBTU. Harga gas Sakakemang beberapa waktu lalu sempat jadi kendala.

Rencananya selain untuk industri, gas Sakakemang juga diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan listrik Blok Rokan.

“Dengan 85 MMscfd Sakakemang harga gas kita buat mix antara yang dipakai untuk industri sesuai Permen ESDM 8/2020, dan yang dipakai untuk pembangkit listrik di Rokan,” kata Dwi.

SKK Migas sebelumnya menyatakan pada awal Agustus 2020 lalu, Repsol meminta agar harga gas blok Sakakemang di atas US$ 7 per MMBTU sesuai keekonomian proyek.

“Kita tahu sebagai investor mereka harap jaminan keekonomian, keekonomian sudah disepakati tinggal diskusi nilai investasi yang kita harap efisien dengan efisien kita bisa dapatkan potensi penjualan harga gas yang bisa memenuhi kebijakan dalam negeri,” ungkap Dwi.

Dwi menegaskan gas blok Sakakemang dipastikan akan disesuaikan dengan aturan tentang harga gas yang berlaku.

Saat ini diskusi masih berlangsung meliputi nilai investasi dengan harapan dapat diperoleh besaran Capex atau belanja modal yang seefisien mungkin.

“Keekonomian sudah disepakati tinggal diskusi nilai investasi yg kita harap efisien dengan efisien kita bisa dapatkan potensi penjualan harga gas yang bisa memenuhi kebijakan dalam negeri,” kata Dwi.

Fatar Yani Abdurrahman, Wakil Kepala SKK Migas, sebelumnya mengatakan investasi yang diajukan Repsol memang cukup tinggi. Hal inilah yang mau dihindari pemerintah karena tingginya biaya akan ikut mengkerek harga gas yang nanti ditawarkan ke konsumen. Jika biaya tinggi maka kontraktor perlu insentif karena jika tidak maka keekonomian pengembangan blok tidak tercapai. Untuk itu SKK Migas menawarkan usulan agar insentif tetap bisa diberikan tapi dengan syarat.

“Kami berupaya membuat win-win solution kalau biaya tinggi insentif diberikan tapi kalau biaya rendah insentif ngga dapat,” kata Fatar Yani.

Kementerian ESDM menghendaki agar penghematan investasi harus terus didorong. Sehingga insentif tidak perlu berlebihan diberikan yang banyak.

“Saat ini review itu sedang berlangsung kalau dari kementerian maunya harusnya harga gas jangan mahalharus murah kalau murah tergantung dari biaya investasi kalau biaya tinggi pasti harga gas jadi mahal nah ini yang sedang kita pelajari bersama kementerian,” ujar Fatar Yani.

Apabila tidak juga mencapai kata sepakat maka SKK Migas sudah mempersiapkan rencana berikutnya yakni pengembangan blok Sakakemang dilakukan secaa fulfill atau maksimal dengan jumlah cadangan yang akan diproduksikan sebesar 2 Triliun Cubic Feet (TCF).

Dalam rencana sekarang, Sakakemang dikembangkan dengan jumlah cadangan yang sudah terbukti hanya 0,5 TCF melalui sumur KBD 2X. Saat ini Repsol masih melakukan pengeboran untuk sumur KBD 3X guna memastikan jumlah cadangan 2 TCF seperti yang diperkirakan sebelumnya.

Menurut Fatar, sisi positif pengembangan Sakakemang dilakukan bertahap bisa membuat data semakin bagus sehingga dipastikan konfirmasi berapa sebenarnya volume yang ada di Sakakemang.

“Kalau belum ada jalan keluar nanti kita diskusi lagi dengan pak menteri apakah metode seperti ini atau menunggu fulfill development,” kata Fatar.

Untuk mencapai fulfill development memiliki konsekuensi dari sisi waktu pelaksanaan yang tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat.

Apabila tidak dilakukan pengembangan bertahap maka paling cepat PoD baru bisa disodorkan oleh Repsol paling cepat pada tahun 2023 mendatang. “Kalau fulfill PoD bisa di 2023 atau 2024 itu karena mereka harus secara overall bisa nambah lah waktunya,” kata Fatar.(RI)