JAKARTA – Biaya Enhance Oil Recovery (EOR), khususnya dengan melakukan injeksi chemical yang masih mahal disebabkan bahan injeksi yang masih harus diimpor. Padahal, industri petrokimia nasional sudah memiliki kemampuan mumpuni untuk memproduksi chemical sebagai bahan baku EOR.

“Ngapain sih impor-impor, orang tuh mendewakan impor, padahal di negeri sendiri ada dan bisa. Impor mahal,” kata Djoko Siswanto, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM saat ditemui disela rapat kerja dengan Komisi VII DPR, Senin (27/8).

Menurut Djoko, upaya PT Medco E&P melakukan EOR misalnya akhirnya kandas ditengah jalan karena harus mendatangkan bahan baku dari China. Tidak dilanjutkannya pilot project di Lapangan Kaji lantaran mahalnya bahan baku chemical yang mencapai US$60 per barel. Mahalnya  bahan baku juga terjadi pada pilot project di Blok Rokan. “Chevron dari Kanada. Mahal juga sekitar US$ 60-an karena itu impor,” tukasnya.

bagan EOR

Untuk studi EOR yang dilakukan PT Pertamina EP di Lapangan Tanjung dan akan menjadi EOR pertama yang diterapkan dalam full scale ternyata sudah menggunakan bahan berupa polymer injection produksi dalam negeri dengan harga yang jauh lebih terjangkau. “Tanjung itu dalam negeri dia US$ 10.  Dia kan dari impor ada, dalam negeri ada tiga produk semua di tes,” ungkap Djoko.

Djoko mengaku heran jika ada produk dalam negeri lebih murah namun tetap menggunakan produk mahal. Padahal bahan baku EOR dari dalam negeri harus didorong. Jika kualitas mampu bersaing dan harga jauh dibawah impor maka sepatutnya perusahaan memanfaatkan produk dalam negeri.

Apabila spesifikasi bahan baku sesuai dan harga lebih terjangkau namun produk impor tetap digunakan maka mafia impor bisa jadi berada dibalik tersendatnya pelaksanaan EOR di Indonesia.

“Mereka (kontraktor) itu enggak mau pakai dalam negeri karena sudah ada mafia impor. Kami berantas. Kalau mereka enggak mau pakai produk dalam negeri berarti ada mafia impor, kalau masih senang pakai impor ya. Makanya sekarang kami punya produk dalam negeri juga pakai dong, lebih murah, hasilnya boleh diadu tes di lab,” tegas Djoko.

Metode EOR harus segera dijalankan di berbagai lapangan minyak di Indonesia. Pasalnya tanpa melakukan upaya apapun, penurunan produksi dipastikan aksn terjadi. Dan puncaknya akan dirasakan pada 2025.

Data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) memproyeksikan pada 2025 jika tanpa upaya EOR maka produksi siap jual (lifting) minyak hanya sekitar 480 ribu barel per hari (bph). Angka ini akan terus menurun hingga 2030 berturut lifting hanya sebesar 419 ribu bph di 2026, kemudian 376 ribu bph pada 2027, 334 ribu bph pada 2028, lalu 311 ribu bph di tahun 2029 serta pada 2030 lifting minyak hanya 281 ribu bph.(RI)