RUMPUT laut tak sekadar komoditi pengerek ekonomi. Di Desa Kupang, sekitar 30 km dari Kota Sidoarjo, Jawa Timur,  dia juga bisa menautkan keluarga. Semua anggota keluarga terlibat dalam budidaya ini. Bapak memanen, ibu menjemur, sementara anak mengantar ke gudang penyimpanan.

Sebelum rumput laut dikembangkan di sana, seperti juga desa pesisir lain di Indonesia, perekonomian keluarga hanya bertumpu kepada kepala keluarga. Selain ke tambak, ada juga yang melaut. “Tapi kalau musim angin besar, tak ada yang berani,” ujar Mukhamad, Kepala Desa Kupang. Akibatnya dapur gak ngebul.

Setelah ada rumput laiut, wajah Desa Kupang pun berubah. “Kehidupan di desa lebih ramai. Hari-harinya sibuk,” Mukhamad menambahkan. Salah satu kelebihan rumput laut, tak kenal musim alias ada terus. Sekali menebar benih, panen bisa dilakukan setiap dua bulan sekali. Dan itu berlangsung bertahun-tahun.

Dengan penghasilan bertambah, daya beli juga meningkat. “Sekarang berani kredit motor. Dulu mana sanggup,” ujar Mukhamad. Mereka juga berani mengajukan kredit ke bank untuk penambahan modal kerja karena penghasilan sudah bisa diprediksi. Beda dengan dulu, sangat tergantung alam. Kalau lagi bersahabat, bisa melaut, meski hasilnya hanya cukup untuk makan. Mukhamad mengistilahkannya dengan hasilnya begitu-begitu saja. “Sekarang untuk buat rumah saja, mereka berani pinjam bank, “ujarnya

Di Desa Kupang kini budidaya rumput laut sudah menggeser tambak sebagai penopang utama perekonomian masyarakat. “Rumput laut sekarang sudah jadi primadona. Tambak udang dan bandeng jadi nomor dua. “ujar Eko Hariwanti, tenaga penyuluh perikanan  dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sidoarjo kepada Dunia Energi, Selasa (12/11)

Sebelumnya budidaya rumput laut tak dikenal di sana. Diperkenalkan pertama kali pada 2017. Bersama-sama dengan PT Pertamina Gas (Pertagas), Eko bahu membahu mewujudkan  desa rumput laut sebagai ikon Desa Kupang

Bukan pekerjaan mudah. Meski tak terlalu jauh dari kota Sidoarjo, tak mudah mencapai desa tersebut. Sepanjang 4 km jalan menuju desa di Kecamatan Jabon itu belum beraspal, masih terjal berbatu dengan lubang di sana-sini. Jika kemarau, debu beterbangan.  Pemotor harus sigap mengarahkan kendaraannya agar tak terselip di batu. Perjalanan pun menjadi lebih lambat.

Musim penghujan seperti sekarang lebih sengsara lagi.  Jalanan becek. Beberapa ruas jalan berubah menjadi kubangan lumpur. Tanpa penerangan listrik pula.

Eko harus melewati jalur “penuh derita” itu minimal sekali dalam sepekan. Perempuan berusia 41 tahun itu harus mendampingi kelompok binaan di desa tersebut, tepatnya di Dusun Tanjungsari. “Pernah malam-malam saya lewat situ. hujan deras dan tidak ada penerangan lampu. Rasanya pengen nangis,” ujar Eko mengenang.

Saat itu, dia mendampingi Kelompok Pengolah dan Pemasar (Poklahsar) Samudera Puteri. Karena ada peralatan yang harus dibeli untuk kegiatan esok harinya, dia bersama Rochma, ketua kelompok tersebut, belanja ke Sidoarjo. Sampai Tanjungsari jam 08.00 malam. “Saat itu hujan deras dan petir menyambar-nyambar,” ujar Eko.

Karena dianggap berbahaya, waktu pulang oleh warga kampung tak diizinkan melewati   jalur “penuh derita”.  Ia melewati jalur lain yang dianggap lebih aman meski sedikit lebih memutar. Itupun dengan diantar salah seorang warga di sana. Setelah melewati Sungai Porong, Eko kemudian berpisah dengan yang mengantarnya.

Belum juga  sampai ke rumah, tiba –tiba teleponnya berbunyi. Suami dan kedua anaknya ternyata menjemput dirinya ke Kampung Tanjungsari, melalui jalur “penuh derita” yang memang dianggap lebih dekat.  “Si kecil menangis ketakutan karena jalan gelap” ujarnya.  Belum lagi jalan becek, lubang, banyak air. Hujan deras tak mau berhenti.

Apa boleh buat, takut ada apa-apa dengan anaknya, Eko balik kanan kembali ke Kampung Tanjungsari melewati jalan yang awal dihindarinya.  Mereka tidak bertemu karena berselisih jalan. “Sampai rumah jam 23.30. Saya menangis sepanjang perjalanan ingat anak saya,” ujarnya.

Panen rumput laut di desa Kupang. (Foto/Dok/Dunia Energi)

Eko sudah menjadi tenaga penyuluh perikanan sejak 2008. Selama tiga tahun dia bertugas di Tulungagung sebelum akhirnya dipindah ke Sidoarjo sampai sekarang.

Sebetulnya, kalau mengikut prosedur, tiap setahun sekali wilayah binaan penyuluh itu akan diputar. Biasanya per kecamatan. Khusus untuk Kecamatan Jabon sudah tiga tahun penyuluhnya belum berubah.  “Teman-teman gak mau kalau harus pegang Jabon, karena desa-desanya rada terpencil,” ujar Eko. Selain itu, pelaku perikanan di Jabon pun meminta penyuluhnya jangan diganti.

“Mereka sampai kirim surat dan bilang langsung ke Kepala Dinas agar Mas Agus dan saya gak diganti,” ujar Eko. Agus adalah koleganya sesama penyuluh yang ditempatkan di Jabon. Cuma Agus statusnya sudah PNS, sedangkan Eko masih tenaga kontrak, meski sudah aktif menjadi tenaga penyuluh perikanan sejak 2010.

Meski pengangkatan PNS tak kunjung tiba, semangatnya tak pernah padam. Dia tetap mengunjungi desa binaan dengan gelora yang sama seperti hari pertama dia menjalani tuas sebagai tenaga penyuluh. Akses buruk seperti ke Desa Kupang tak akan menyurutkan langkahnya. “Saya Senang membina di situ karena ibu-ibunya bersemangat untuk terus memperbaiki diri,” ujar Eko.

Desa Kupang sebetulnya punya empat dusun, yakni  Dusun Kupang Lor dekat balai desa,  Dusun Kupang Bader, Dusun Kupang Kidul dan keempat Dusun Tanjung Sari. Sentra rumput laut ada di Dusun Tanjung Sari. Sekitar 500 warga membudidayakannya, Letak Tanjung Sari memang dekat dengan pesisir, sementara tiga lainnya jauh. Ketiga dusun itu lebih mengandalkan sektor pertanian.

Pada awalnya, penduduk di Dusun Tanjung Sari hanya mengandalkan tambak udang dan bandeng, kemudian sesuai dengan hasil social mapping yang dilakukan Pertagas, di situ potensial dikembangkan rumput laut, yang bisa saling melengkapi dengan tambak, tidak saling meniadakan. Bersama dengan Dinas Perikanan dan Kelautan setempat kemudian dikembangkan rumput laut Gracilaria, salah satu varian rumput laut yang banyak dibudidayakan. Sosialisasi terus digalakkan.

Warga pun menyambut antusias. Pada 2017, lahan tambak yang dimanfaatkan untuk rumput laut hanya 250 hektar, setahun kemudian berkembang menjadi 500 hektar. Pertagas membantu membangun fasilitas produksi dan gudang. Produksi pun melonjak dari tadinya hanya 450 ton per bulan menjadi 550 ton per bulan, 220 ton diantaranya untuk memenuhi permintaaan ekspor. Sisanya untuk domestik.

Hasil olahan rumput laut di desan Kupang. (Foto/Dok/Dunia Energi)

Problem mulai muncul ketika musim panen raya tiba.  Tak semuanya terserap pabrik. Akhirnya, hasil panen terbuang begitu saja.  Untuk mengatasinya, sesuai usulan warga, dan kajian social mapping, dibentuklah program pemberdayaan kelompok perempuan di dusun tersebut. Kelompok ini terdiri atas ibu-ibu petani atau penjemur rumput laut yang memiliki penghasilan tidak tentu.

Kelompok ini mempunyai 26 orang anggota. Saat penjemur rumpat laut, pendapatan mereka Rp900 ribu per bulan. Kini, setelah ikut kelompok, pendapatan mereka sekitar Rp1,2 juta per bulan.

Awalnya ibu-ibu merasa tidak siap karena merasa tidak memiliki keahlian untuk mengkoordinasikan sebuah kelompok dan membuat kegiatan yang berkelanjutan. “Pertagas akhirnya menggandeng Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) untuk membina ibu-ibu dalam mengorganisasikan kelompok,” ujar Nurokhman, community officer development (COD) PT Pertagas East Java Area.

Akhirnya terbentuklah Kelompok Pengolah dan Pemasar (Poklahsar) Samudera Hijau Puteri. Poklahsar selanjutnya mendapat fasilitasi pelatihan terkait pengolahan rumput laut. Mereka juga mendapat bantuan rumah dan alat produksi, yang menghasilkan 13 produk hingga saat ini dengan brand rumput laut Rulaku, kependekan dari rumput laut Kupang. Produk-produk itu antara lain: selai, ice cream, sosis, nugget, minuman, kerupuk, kembang goyang dll. Pertagas juga membuatkan mereka gerai untuk jualan. Tentu tak semuanya berjalan lancar.  Rochma, 43 tahun, Ketua Kelompok Pohlatrsar, menyebutkan kendala yang dihadapi adalah tidak konsistennya jumlah produksi karena tidak menentunya permintaan.

Belum lagi kalau harus mengikuti pameran yang persiapannya cuma satu dua hari. Itu artinya, Rochma dan anggota kelompok harus lembur menyiapkan barang. “Dengan bimbingan bu Eko dan bantuan Pertagas kami berupaya  untuk mengikuti pameran di berbagai event,” ujar Rochma. Yang paling mutakhir, mereka mengikuti pameran di Plasa Surabaya 15-17 November 2019

“Kami juga mendorong dan memfasilitasi mereka ekspansi memanfaatkan e-commerce,” Nurokhman menambahkan. Tentu dengan terus meningkatkan kualitas produk rumput laut. Ini bisa dicapai jika kompetensi anggota Poklahsar telah mumpuni sehingga mampu menghasilkan produk yang bisa bersaing di pasar. Pertagas terus memfasilitasi pengiriman angota Poklahsar mengikuti berbagai pelatihan di berbagai tempat.

Pelatihan pertama yang mereka ikuti diadakan Akademi Perikanan Sidoarjo. Hasil pelatihan itu kemudian diuji coba. Hasilnya, masih belum memuaskan. Hasil olahan masih gelap dan berbau amis sehingga kurang diminati. Kemudian proses produksi disempurnakan. Sebelum diolah air rumput itu direndam jeruk nipis dan air kapur.

Kini kompetensi anggota kelompok sudah meningkat. Toh mereka tak berpuas diri. Setiap ada kesempatan pelatihan, dengan difasilitasi Pertagas mereka berusaha mengikutinya. Tak hanya di Sidoarjo, tapi juga sampai ke luar Jawa.

Terakhir empat orang ibu–ibu anggota Poklahsar, termasuk Rochma dan dua  orang bapak dari kelompok pembudidaya dikirim ke BDI Makassar, mengikuti pelatihan “Pembuatan Aneka Olahan Berbasis Rumput Laut,” 26 Agustus sampai 1 September  2019. Hasil dari pelatihan itu, keterampilan anggota kelompok semakin bertambah. Salah satunya, membuat nori, yang sebelumnya tidak mereka kuasai.

Mukhamad, Kepala Desa Sukapura, Kecamatan Jabon, Sidoarjo menyebutkan program rumput laut yang diinisiasi Pertagas mampu mengembangkan perekonomian desa. “Kerja sama dengan Pertagas sudah tiga tahun, “ujarnya. Dimulai sejak Kepala Desa sebelumnya. Mukhamad sendiri belum satu tahun menjabat sebagai kepala desa. “Apalagi sekarang ada pengembangan sampingan, rumput laut tak hanya dijual kering,“ujarnya.

Sebelum ada pengolahan seperti yang dilakukan Poklahsar, saat panen raya tak semua hasil rumput laut diserap perusahaan pengolahan.  Akibatnya, tak sedikit yang dibuang. “Sekarang tak hanya dijual rumput laut kering saja, Tapi juga produk olahannya. Ini memberi peluang tenaga kerja, “Mukhamad menambahkan.

Rulaku atau rumput laut Kupang sudah mengubah wajah Kupang. Dari yang tadinya kelam menjadi terang menatap masa depan. (HT)