JAKARTA – Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) digadang-gadang menjadi salah satu energi alternatif andalan bagi Indonesia sejak tahun 80-an, tapi sampai sekarang pengembangannya jauh dari harapan.

Berdasarkan data Institute for Essential Service Reform (IESR), kapasitas terpasang PLTS di Indonesia baru sekitar 100 Mega Watt (MW) sangat jauh dari potensi yang ada mencapai 500 Giga Watt (GW). Realisasi tersebut juga sangat jauh dari target yang dicanangkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2019 sebesar 6,5 GW pada 2025. Untuk PT PLN (Persero) menargetkan pada 2028 hanya 2 GW.

Pamela Simamora, Koordinator Peneliti Energi Terbarukan dan Spesialis Sistem Energi IESR, mengatakan kondisi jalan ditempatnya pengembangan PLTS akan terus berlangsung apabila pemerintah tidak bisa menghadapi beberapa tantangan yang tengah dihadapi dan hanya bisa diselesaikan melalui kebijakan pemerintah.

Tantangan pertama adalah tarif dari PLTS yang tidak menarik atau 85% dari Biaya Pokok Produksi (BPP). Selain itu suku bunga bank lokal ke pengembang masih tinggi antara 10% hingga 15%. Serta tingginya syarat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

“Pengembang dilema karena tarif tidak menarik dengan 85% BPP, tapi harus menggunakan modul lokal dari pada impor,” kata Pamela di Jakarta, Selasa (30/7).

Selain itu,  skema build, own, operate, transfer (BOOT) juga masih menjadi isu utama. Serta adanya alokasi risiko yang tidak seimbang.

Semua risiko dalam pengembangan PLTS itu yang menyebabkan biaya yang harus dikeluarkan untuk penyediaan PLTS sangat tinggi di Indonesia.

Menurut Pamela, dari hasil survei yang dilakukan di empat negara, beberapa langkah bisa dicontoh oleh pemerintah Indonesia.

Di India misalnya tidak ada syarat TKDN untuk proyek yang dikerjakan perusahaan swasta atau selain perusahaan negara. Di Uni Emirat Arab, pemerintah menyediakan lahan PLTS secara gratis serta suku bunga yang ditawarkan perbankan sangat kompetitif 2,6% – 3,6%.

Brasil menjadi negara dengan tren pengembangan PLTS paling cepat karena berbagai insentif ditawarkan oleh pemerintah,  seperti diskon untuk transmisi dan distribusi listrik, pinjaman lunak untuk pengembangan yang memenuhi syarat TKDN serta suku bunga rendah mencapai 0,9%. Ini membuat harga listrik dari PLTS hanya sekitar US$1,75 sen per kWh.

Pemerintah Indonesia sudah sewajarnya memberikan beberapa insentif serupa jika ingin PLTS tumbuh seperti penyediaan lahan untuk proyek PLTS, menurunkan suku bunga serta relaksasi syarat TKDN.

“TKDN penting untuk manufaktur dalam negeri namun perlu menyesuaikan dengan kapasitas manufaktur Indonesia yang masih minim,” kata Pamela.(RI)