JAKARTA – Rencana pemerintah untuk menghentikan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya di Banten, dinilai sebagai langkah tepat yang bisa segera direalisasikan. Selain bermanfaat untuk lingkungan karena tidak ada lagi batu bara yang dibakar dan menghasilkan emisi, dari sisi operasi juga dinilai lebih efisien bagi PT PLN (Persero).

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan PLTU Suralaya unit 1-4 yang memiliki kapasitas 4×400 Megawatt (MW) sudah tua dan sudah waktunya pensiun.”Kalaupun diretrofit akan memakan biaya investasi yang cukup besar,” kata Fabby saat dihubungi Dunia Energi, Rabu (18/11).

Selain itu kalaupun digantikan dengan PLTU yang baru maka biaya investasi PLTU baru jenis Ultra Super Critical (USC) untuk memenuhi ketentuan baku emisi pembangkit listrik sesuai Permen LHK Nomor 15 Tahun 2019 akan lebih mahal. Justru lebih efisien membangun pembangkit baru berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) sebagai pengganti PLTU.

“Lebih murah membangun dan mengoperasikan PLTS plus battery storage. Apalagi kalau dibangun PLTS orde gigawatt di lokasi eks PLTU, tarif listriknya bisa di bawah 6 sen/kWh dengan melakukan reverse auction,” ungkap Fabby.

Selain itu, untuk mendapatkan pendanaan dan EPC internasional untuk membangun PLTU saat ini juga sulit, jadi cost of capital dari proyek PLTU bisa jadi lebih mahal dan berisiko. “Sudah tepat kalau lokasi eks PLTU Suralaya unit 1-4 ini dibangun PLTS skala besar dengan storage,” ujarnya.

Baca juga  Setop Operasi PLTU Suralaya, Pemerintah Siapkan PLTS Sebagai Pengganti

Hanya saja kembali lagi keputusan ada di pemerintah. Jika pemerintah serius maka seharusnya wacana ini sudah dimasukkan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang akan datang atau RUPTL 2021-2030.

Fabby menilai tidak akan sulit untuk merealisasikan pembangunan PLTS di lahan bekas PLTU Suralaya. Pemerintah bisa langsung meminta PLN untuk membangun dan PLN bisa langsung menunjuk anak usahanya PT Indonesia Power untuk mengeksekusi rencana itu.

Indonesia Power juga dalam pelaksanaan pembangunan nanti tidak perlu sendiri dan bisa bermitra dengan perusahaan lain untuk memperoleh dana untuk memenuhi investasi.

“Suralaya unit 1-4 kan milik PT Indonesia Power (IP). Jadi bisa dilakukan penugasan kepada IP dan IP yang mencari equity dan EPC partner atau PLN lakukan auction untuk mencari pengembang swasta yang bermitra dengan IP untuk membangun dan mengoperasikan,” ungkap Fabby.

Kajian untuk menghancurkan PLTU Suralaya dan menggantinya dengan PLTS sedang dilakukan oleh Kementerian ESDM. Selain karena sudah berumur terlalu tua rencana tersebut juga betujuan untuk meningkatkan porsi Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional.

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, sebelumnya mengungkapkan nantinya PLTS yang akan dibangun sebagai pengganti akan memiliki kapasitas besar serta terdapat baterai untuk menyimpan daya listrik sehingga tidak ada isu intermiten.

“Ini kajian internal, PLTU Suralaya yang usia 35 tahun sedang dilihat apa akan di demolish (hancurkan) dan ganti PLTS skala besar dengan baterai sehingga tidak ada unsur intermiten sama sekali. masih kajian,” kata Dadan.

PLTU Suralaya adalah salah satu PLTU paling tua di Indonesia yang dibangun pada 1985. PLTU Suralaya yang sekarang sudah memiliki tujuh unit merupakan salah satu pembangkit utama guna memasok listrik untuk wilayah Jawa bagian barat, selain PLTU Muara Karang di Jakarta Utara dan PLTGU (Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap) Cilegon.(RI)