JAKARTA – Pemerintah selama ini dinilai tidak serius dalam mengejar target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT). Berbagai upaya yang sudah coba dilakukan selama ini dianggap tidak optimal dan berjalan setengah hati sehingga target tidak pernah tercapai.

Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR, mengatakan langkah pemerintah yang menjadikan tenaga surya sebagai motor penggerak untuk mengejar target EBT sudah tepat. Kini tinggal melihat tindakan apa yang akan ditempuh pemerintah untuk mengejar target tersebut.

Dalam Sidang Paripurna Dewan Energi Nasional (DEN) yang dipimpin Presiden Joko Widodo memutuskan pemerintah akan mempercepat realisasi target bauran listrik dari sumber energi baru terbarukan (EBT). Sidang yang dilaksanakan Selasa, (20/4) itu juga menetapkan akan menjadikan energi surya sebagai sumber energi utama pengembangan EBT.

“Selama ini pemerintah terlihat kurang serius dalam implementasinya. Terkesan business as usual,” kata Mulyanto, Rabu (21/4).

Menurut Mulyanto, ada dua hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam mewujudkan target bauran EBT. Pertama, soal regulasi yang kondusif. Kedua, soal lokus pembangunan EBT.

Pemerintah harus mendukung penuh masyarakat yang proaktif berpartisipasi dalam program penggunaan listrik dari sumber EBT ini, baik terkait perizinan maupun regulasi.

Dalam jangka pendek mestinya pemerintah melonggarkan alur dan syarat perizinan agar pihak swasta tertarik menggunakan EBT. “Jangan sampai izin berlarut-larut bahkan sampai lebih dari 6 bulan. Ini bisa membuat swasta maju-mundur,” kata Mulyanto.

Pemerintah juga perlu menata ulang skema dan besaran biaya ekspor-impor listrik EBT, khususnya dari sumber tenaga surya. Sekarang ini proporsinya 1: 0,65. Dengan alasan perlu angka 0,35 atau 35% sebagai biaya dari PLN untuk menjalankan proses ini. Artinya masih ada beban sebesar 35% dari tarif yang dikenakan kepada masyarakat oleh PLN.

“Seharusnya beban itu dihilangkan, sehingga proporsi ekspor-empor listrik dari dan ke PLN menjadi sebesar 1:1,” kata Mulyanto.

Mulyanto pesimistis target bauran EBT 23 persen di tahun 2025 akan tercapai jika pemerintah masih bertindak business as usual. Perlu gebrakan dan progam-program inovatif dalam mendorong partisipasi sektor swasta dalam penerapan EBT ini.

PLTS memang sangat prospektif. Selain harganya kompetitif juga sangat fleksibel untuk dipasang di atap rumah-rumah masyarakat. Apalagi fokusnya untuk daerah-daerah yang masih belum teraliri listrik, karena jauh dari transmisi listrik. Atau pada daerah-daerah yang masih menggunakan listrik dari sumber BBM impor.

“Program ini dapat meningkatkan kontribusi listrik EBT, elektrifikasi menuju 100% dan reduksi BBM impor sekaligus. Jadi Pemerintah jangan ragu-ragu untuk memberikan insentif,” tandas Mulyanto.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi itu mencapai lebih dari 200 GW. Sementara sampai tahun 2020, pemanfataan listrik dari sumber energi ini baru mencapai 150 MW atau sebesar 0,07%-nya.

Selain itu, PLTS memiliki keunggulan dari segi fleksibilitas lokasi pembangkit. Tidak seperti sumber energi lain yang sangat rigid terkait lokasi pembangkitnya. Bahkan panel listrik energi surya ini dapat dipasang di atas atap rumah atau kantor.(RI)