JAKARTA – Meskipun positif untuk target bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT), pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap dinilai berpotensi menambah beban keuangan BUMN kelistrikan. Kementerian ESDM hingga Maret 2021 telah membangun sebanyak 193 unit PLTS atap gedung, sementara sepanjang 2021-2030 pemerintah juga menargetkan pembangunan PLTS dengan kapasitas sebesar 5,432 Megawatt (MW) untuk menurunkan emisi hingga 7,96 juta ton karbondioksida.

Komaidi Notogero, Reforminer Institute, mengatakan untuk saat ini sejumlah penugasan yang diberikan pemerintah termasuk skema take or pay dengan IPP telah mendorong kinerja keuangan PT PLN (Persero) dalam kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Kelebihan produksi listrik atau reserve margin yang cukup besar menjadi kontributor utama terhadap menurunnya kinerja keuangan PLN. Dalam RUPTL 2015-2024, rata-rata pertumbuhan konsumsi listrik Indonesia diproyeksikan mencapai 8,7% per tahun. Sementara, dalam realisasinya pertumbuhan konsumsi listrik hanya sekitar 4-5% per tahun

“Mengacu pada kondisi keuangan PLN, hampir dapat dipastikan tambahan beban keuangan akibat penugasan yang baru kemungkinan akan digeser menjadi beban keuangan negara. Dalam kondisi kebijakan fiskal yang sebagian besar masih terfokus untuk penanganan pandemi COVID-19, tambahan beban tersebut akan meningkatkan potensi defisit APBN,” kata Komaidi, kepada Dunia Energi, Rabu (15/9).

Secara nominal, menurut Komaidi, potensi tambahan beban subsidi dan kompensasi akibat masuknya PLTS Atap memang relatif lebih kecil dibandingkan dengan operation cost yang diperlukan untuk menjaga reserve margin sistem kelistrikan nasional. Namun demikian, karena momentumnya yang tidak tepat yang mana pada saat sistem kelistrikan nasional sedang kelebihan produksi, masuknya PLTS Atap dapat menjadi pemberat beban keuangan BUMN dan beban keuangan negara yang sebelumnya sudah dalam kondisi yang berat.

Komaidi mengatakan, baik ditinjau dari perspektif PLTS Atap sebagai negative load maupun sebagai Micro IPP, keduanya sama-sama akan memberikan konsekuensi pada meningkatnya kebutuhan anggaran subsidi dan kompensasi untuk tenaga listrik.

“Bahwa pengembangan PLTS Atap potensial untuk mencapai target EBT dalam bauran energi nasional pada 2025 adalah benar, akan tetapi risiko fiskal yang berpotensi timbul karenanya juga perlu tersampaikan dan dicermati secara utuh,” ujarnya.

Dia menekankan, permasalahan yang ada tentu tidak dapat dibebankan hanya kepada para penggiat EBT khususnya PLTS Atap dan/atau PLN, tetapi menjadi tanggung jawab kita bersama. Hal tersebut mengingat ketika terdapat momentum untuk mengembangkan EBT justru melalui program FTP I, FTP II, dan program 35.000 MW lebih memilih untuk mengembangkan pembangkit listrik berbasis fosil yang sebagian besar menggunakan batu bara.

“Kementerian ESDM tidak dapat berjalan sendiri dalam upaya pengembangan PLTS Atap. Akan lebih baik dan bijaksana jika Kementerian ESDM duduk bersama dan berkomunikasi terlebih dahulu dengan Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan PLN,” kata Komaidi.(RA)