JAKARTA – Kebijakan pembatasan impor barang di sektor energi, tidak hanya untuk sektor pertambangan serta minyak dan gas, namun juga ketenagalistrikan. Imbasnya, proyek-proyek pembangunan fasilitas kelistrikan, termasuk proyek pembangkit 35 ribu MW akan dievaluasi. Apalagi ketergantungan terhadap barang impor masih besar.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), mengatakan pemerintah sudah selayaknya mengevaluasi master list impor barang modal atau mesin, termasuk di sektor energi. Dengan begitu, produk impor yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri dapat dikeluarkan dan tidak lagi mendapatkan pembebasan pajak atau fasilitas lainnya.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diminta bekerja cepat mengevaluasi master list tersebut dan dalam jangka pendek segera diputuskan. “Dalam pelaksanaannya, pemerintah perlu memastikan agar usaha dan bisnis tidak terganggu,” kata Fabby kepada Dunia Energi, Kamis (16/8).

Pembatasan impor dilakukan atas arahan Presiden Joko Widodo. Presiden meminta impor barang ditunda hingga jangka waktu enam bulan ke depan. Langkah ini salah satunya juga untuk mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.

Andy Noorsaman Sommeng, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, mengatakan setelah ada perintah Presiden untuk meningkatkan Tingkat Kompenen Dalam Negeri (TKDN), kemudian diikuti dengan mengurangi impor barang.

“Kementerian ESDM pun melakukan evaluasi, karena kan ada yang sudah Commercial Operation Date (COD). Paling yang bakal tertunda sekitar 3%-4% (dari proyek 35 ribu MW) yang masih dalam perencanaan. Kalau perencanaan kan baru direncanakan, belum tahu dananya dari mana,” kata Andy di Kementerian ESDM Jakarta, Rabu (15/8).

Neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2018 sendiri kembali defisit, nilainya sampai US$2,03 miliar. Realisasi tersebut akibat nilai ekspor hanya US$16,24 miliar atau lebih kecil dibanding nilai impor yang mencapai US$18,27 miliar.

Banyaknya impor bahan modal, seperti permesinan serta plastik, besi dan baja menjadi salah satu faktor tingginya impor. Serta membuat neraca perdagangan menjadi defisit.

Andy memastikan proyek 35 ribu MW yang akan dievaluasi tidak akan menyasar pada proyek yang sudah berjalan dan minimal sudah mendapatkan kepastian pendanaan. “Yang belum financial closing itu yang akan dievaluasi,” tukasnya.

Pemerintah juga akan segera berkoordinasi dengan PT PLN (Persero) dan produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) untuk memilah proyek mana yang belum mencapai financial closing hingga Agustus 2018.

Syofvi Roekman, Direktur Perencanaan PLN, memastikan proyek yang sudah berjalan tidak mungkin bisa dihentikan sementara atau menunda akibat pembatasan impor terhadap barang yang dibutuhkan dalan proyek. “Kami akan melakukan penyesuaian, tidak menunda ya,” tegas dia.

PLN masih harus memetakan proyek-proyek tersebut, namun yang jelas sesuai arahan pemerintah juga yang akan dievaluasi adalah proyek yang posisinya belum financial closing.
“Tapi kalau proyek sudah berjalan tidak bisa dong diberhentikan. Kondisi ini yang membuat PLN harus berhitung ulang,” kata Syofvi.

Dia memastikan evaluasi nanti tidak akan menganggu tugas PLN dalam memenuhi kebutuhan listrik. Apalagi sudah banyak peralatan yang tidak lagi di beli dari luar negeri. Namun ada kemungkinan impor masih banyak dilakukan oleh IPP.

“Karena di tranmisi umumnya kami ambil di dalam negeri, untuk konduktor, tower, gardu sekarang sudah punya pabrik di sini. Ada trafo juga. Mungkin yang paling banyak nanti yang akan terlihat itu mungkin yang di IPP, ini baru mungkin. Saya belum punya data persis,” tandas Syofvi.(RI/RA)