JAKARTA – Komisi VII DPR memanggil manajeman PT PLN (Persero) untuk dimintai masukan dalam penyusunan Rancangan Undang Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) yang ditargetkan bisa terbit pada tahun depan. Ada beberapa poin masukan yang menjadi fokus PLN sebagai offtaker utama pembangkit listrik EBT nanti, di antaranya dari sisi transisi energi, perizinan dan pengusahaan, penyediaan dan pemanfaatan, serta dari sisi harga.

Muhammad Ikhsan Asaad, Direktur Mega Project PLN, mengungkapkan setelah melihat draft RUU, salah satu yang paling penting adalah terkait tranisisi energi. Transisi diharapkan selaras dengan supply and demand. Kamudian dilakukan pemetaan potensi EBT di setiap wilayah. Misalnya di timur, kalau mataharinya tinggi, bisa dikembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Kalau potensi anginnya tinggi, pakai Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB).

Ikhsan juga menekankan masih pentingnya peran energi fosil dalam transisi energi. Pembangkit gas dan batu bara yang telah dibangun yang menjadi tonggak utama pemberi supply energi. Untuk itu perlu diperhatikan penerapan teknologi High Efficiency Low Emission (HELE) dan carbon capture storage (CCS) dengan tetap optimalisasi atas pembangkit eksisting.

“Peran energi fosil masih penting. Kelemahan EBT sebenarnya ada intermiten. Nah ini ditutupi dengan energi fosil,” kata Ikhsan disela rapat dengan Komisi VII DPR,  Rabu (25/11).

Fokus berikutnya adalah perizinan dan pengusahaan pembangkit listrik EBT. Menurut Ikhsan, badan usaha harus diberikan kemudahaan perizinan, tahap konstruksi, hingga pengusahaan baik di pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah,

Lalu EBT sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan penguasaan dan peningkatan kapasitas nasional dalam pengembangan teknologi dan industri dalam negeri. “Sehingga untuk pengembangan produk dan potensi dalam negeri perlu diikuti dengan kesiapan industri pendukung, ujar Ikhsan.

Lalu RUU EBT diharapkan juga mengatur atas kewajiban pemerintah mendukung penyediaan EBT melalui penyediaan sarana dan prasarana. Perlu diatur lebih lanjut dalam diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana guna memberikan dasar hukum penyediaan dana melalui APBN/APBD.

“Salah satu kendala kami untuk pengadaan EBT adalah ketersediaan lahan, misalnya untuk pengembangan PLTS,” kata Ikhsan.

Kemudian saran berikutnya adalah fokus pada penyediaan dan pemanfaatan EBT. Dalam rangka mengakselerasi pengembangan EBT,

Menurut Ikhsan, pemerintah memang bisa menugaskan PLN untuk melaksanakan pembelian tenaga listrik berbasis EBT, PLN dapat membentuk badan usaha dibawah PLN untuk menunjang akselerasi pengembangan tersebut.

Pemenuhan persyaratan Standar Portofolio EBT untuk badan usaha menggunakan energi tidak terbarukan agar dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan

kemampuan badan usaha tersebut dengan tetap memperhatikan keseimbangan supply demand dan tidak berlaku surut terhadap badan usaha yang telah terkontrak atau telah beroperasi.

PLN juga memberikan saran terkait harga. Selama ini harga listrik EBT terus dijadikan kembing hitam sehingga pembangkit listrik bertenaga fosil seperti batu bara tetap masih jadi pilihan karena dianggap harga listriknya paling murah.

Ikhsan mengingatkan penetapan harga EBT harus tetap memperhatikan keekonomian yang berkeadilan. Kemudian kebijakan dan jenis feed in tariff kata dia harus dikaji secara mendalam, lingkup efektivitas dan tujuannya untuk pengembangan EBT serta tidak membebani keuangan negara.

“Penetapan harga EBT melalui mekanisme harga patokan tertinggi atau harga kesepakatan,” kata Ikhsan.

Lalu Undang-Undang nanti juga juga harus perhatikan pembangkit EBT skala besar. Menurut Ikhsan dalam rangka mempercepat pemanfaatan EBT skala besar didaerah yang memiliki sumber potensi EBT melimpah sementara beban ketenagalistrikan rendah, dapat dilakukan dengan menerapkan konsep pengembangan “Renewable Energy Based Industrial Development (REBID)” melalui pendekatan “demand creation” untuk mendukung pengembangan kawasan dan industri terpadu, menarik investasi dan pengembangan ekonomi kawasan.

Pengembangan EBT skala kecil melalui “Renewable Energy Based Economic Development” (REBED) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan “Demand Creation dan Infrastructure Readiness”.

“Serta pemanfaatan teknologi co-firing pada PLTU dengan menggunakan biomassa atau sampah merupakan salah satu solusi untuk mencapai target bauran EBT, mengurangi emisi serta dapat menjadi alternatif dalam pengelolaan sampah,” kata Ikhsan.(RI)