JAKARTA – Pemerintah menilai skema Domestic Market Obligation (DMO) batu bara untuk pembangkit listrik yang saat ini diterapkan kerap melahirkan polemik, terlebih jika harga batu bara sedang tinggi. Tidak jarang pasokan batu bara untuk pembangkit listrik apabila harga batu bara dipasaran harganya jauh lebih tinggi ketimbang harga untuk dalam negeri yang sudah diatur maksimal US$70 per ton.

Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Marves) mengatakan sedang dikaji skema baru yang membuat PLN akan membeli batu bara sesuai dengan harga pasar.

“Nanti PLN itu beli secara harga pasar aja. Tapi nanti kita bentuk seperti Badan Layanan Umum (BLU) yang akan mensubsidi gap harga,” ujar Luhut di Kantornya, Senin malam (10/1).

Saat ini PLN membeli batu bara dengan harga US$70 per ton. Ketetapan harga tersebut disepakati oleh pemerintah pada tahun 2017 lalu dengan pertimbangan dengan harga US$70 maka tarif listrik ke masyarakat tidak berubah.

Jika PLN membeli harga sesuai dengan harga pasar namun tarif listrik kepada masyarakat tidak mengalami perubahan maka hal tersebut memberatkan PLN.

Mekanisme baru yang dimaksud pemerintah, kata Luhut nantinya PLN akan membeli batubara dengan harga pasar. Hanya saja, untuk menjaga agar tarif listrik ke masyarakat tidak terdampak maka gap harga pasar dengan harga keekonomian pembangkit.

“Nanti akan ada BLU yang nantinya akan membayar kepada PLN gap harga tadi,” ujar Luhut.

BLU nantinya akan menjadi badan yang akan mengumpulkan iuran dari para perusahaan batubara. “Jadi semua perusahaan batu bara itu punya kewajiban yang sama untuk mensubsidi itu gap harga tadi,” ujar Luhut.

Luhut menjelaskan BLU ini akan dibentuk dalamĀ  waktu tidak lama lagi. “Sedang disiapkan satu dua bulan ini. Lebih cepat sih lebih bagus. Kami bersama Kemenkeu sedang membahas ini,” ujar Luhut.

Dalam dokumen usulan perubahan skema DMO batu bara Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Marves) terungkap adanya skema BLU untuk DMO Batu bara

Pertama, PLN mengikat kontrak dengan beberapa perusahana batu bara yang memiliki spesifikasi batubara sesuai dengan kebutuhan PLN. Nilai harga kontrak akan disesuaikan per 3 atau 6 bulan sesuai dengan harga pasar yang berlaku.

Kedua, PLN membeli batu bara sesuai harga pasar saat ini US$62 per ton untuk kalori 4.700. PLN akan menerima subsidi dari BLU untuk menutup selisih antara harga pasar dengan harga berdasarkan acuan US$ 70 per ton.

Lalu yang ketiga, selisih antara harga yang diberikan PLN dan harga market batubara akan diberikan oleh BLU melalui iuran yang diterima dari perusahan batubara. Besaran iuran akan disesuaikan secara periodik berdasarkan selisih antara harga pasar yang dibeli PLN dan US$70 per ton.

Dengan menggunakan skema Pungutan Batubara melalui BLU, tarif royalti domestic bisa disamakan dengan ekspor karena harga batubara pembelian PLN akan sama dengan harga pasar.

Dalam rekomendasi Kemenko Marves dikatakan bahwa penerapan DMO saat ini yang mematok harga batu bara pembangkit listrik sebesar US$70 per ton menimbulkan beberapa masalah diantaranya banyak produksi batu bara Indonesia yang tidak bisa memenuhi spesifikasi batu bara dari PLN, baik dari sisi kalori maupun sulfur. Hal ini menyebabkan mereka tidak bisa memenuhi ketentuan DMO yang dipersyaratkan. Di sisi lain, ketentuan denda/penalti terhadap mereka yang spesifikasinya tidak bisa memenuhi ketentuan PLN atau tidak memperoleh kontrak dari PLN.

Kemudian penetapan harga beli batubara dengan acuan US$70 per ton sesuai dengan praktik yang ada saat ini, telah menyebabkan distorsi di pasar.

Pada saat harga batu bara kurang dari US$70 per ton, banyak pihak berusaha mendapatkan kontrak PLN namun pada kondisi sebaliknya, mereka tidak komit untuk mensuplai PLN karena lebih menguntungkan dijual ke pasar ekspor.

Usulan untuk penerapan DMO Batubara PLN dapat dimodifikasi dengan menggunakan skema pungutan batubara untuk dapat mensubsidi pembelian batubara PLN di harga pasar. Nilai pungutan dihitung berdasarkan selisih antara harga pasar yang di beli PLN dengan harga berdasarkan acuan US$70 per ton. Pungutan tersebut akan dibebankan kepada seluruh produsen batubara di Indonesia tanpa terkecuali dan dibayarkan sebelum dilakukan shipment.

Beberapa keuntungan dari penerapan skema ini diantarnaya tidak terjadi distorsi pasar karena PLN tetap membeli di harga pasar, disisi lain beban subsidi negara tidak akan bertambah karena selisih harga pasar dan harga acuan US$70 per ton disubsidi dari pungutan kepada para produsen batubara. Hal ini akan mengamankan suplai batubara PLN secara konsisten

Lalu todak perlu ada pembedaan royalty domestik untuk IUPK hasil konversi PKP2B, sehingga akan meningkatkan PNBP secara signifikan saat harga batu bara meningkat. Pendapatan pajak pemerintah dari perusahaan batu bara juga akan meningkat karena harga batu bara domestik sudah menggunakan harga pasar.

Selanjutnya akan dibentuk BLU dibawah Kementerian ESDM atau Kementerian Keuangan untuk dapat mengumpulkan pungutan dari setiap perusahaan batu bara dan kemudian menyalurkan kepada PLN. (RI)