JAKARTA – Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 yang diikuti dua pasangan calon, yakni Joko Widodo – Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto – Sandiaga Uno dianggap kental dengan kepentingan para pebisnis tambang.

Hal ini terlihat dalam lingkaran kedua pasangan calon, terdapat sejumlah nama penting yang terkait dan terlibat dalam bisnis tambang di Indonesia. Sebagian nama-nama itu menempati posisi penting, baik langsung sebagai calon presiden dan wakil presiden maupun sebagai tim sukses di Tim Kampanye Nasional atau badan pemenangan pasangan calon.

“Di kubu Jokowi – Ma’ruf Amin, terdapat nama yang terkait langsung dengan bisnis pertambangan dan energi. Mereka adalah Luhut Binsar Panjaitan, Fachrul Razi, dan Suaidi Marasabessy yang tergabung dalam Tim Bravo 5, serta Hary Tanoesoedibjo, Surya Paloh, Sakti Wahyu Trenggono, Jusuf Kalla, Jusuf Hamka, Andi Syamsuddin Arsyad, Oesman Sapta Oedang, dan Aburizal Bakrie,” kata Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang/JATAM) dalam diskusi bertajuk Oligarki Tambang Dibalik Pilpres 2019 di Jakarta, Selasa (12/2).

Di kubu Prabowo – Sandi, lebih gamblang lagi. Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno merupakan pemain lama dalam sektor tambang dan energi. Selain itu, terdapat Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, Maher Al Gadrie, Hashim Djojohadikusumo, Sudirman Said, dan Zulkifli Hasan. Masing-masing memiliki bisnis tambang langsung, memiliki sejumlah saham, dan memiliki peran atau kewenangan saat menjabat sebelumnya dalam memuluskan ekspansi pertambangan melalui kebijakan yang mereka kendalikan.

“Biaya kampanye kedua pasangan calon yang diduga bersumber dari industri tambang menguatkan kentalnya kepentingan pebisnis tambang pada Pilpres 2019,” ungkap Merah.

Sandiaga Uno, misalnya, tercatat sembilan kali menjual saham untuk menutupi biaya kampanye. Di kubu Jokowi – Ma’ruf, sebanyak 86% dari total biaya kampanye yang dilaporkan kepada KPU, bersumber dari Perkumpulan Golfer TBIG yang, diduga adalah PT Tower Bersama Infrastructure Group dan Perkumpulan Golfer TRG yang juga diduga adalah PT Teknologi Riset Global Investama. Setelah ditelusuri, pendiri kedua perusahaan tersebut adalah Wahyu Sakti Trenggono yang, dalam TKN Jokowi – Mar’uf memegang posisi bendahara.

Wahyu Sakti Trenggono, bersama Garibaldi Tohir, juga merupakan komisaris PT Merdeka Copper Gold, salah satu pemegang saham PT Bumi Suksesindo yang menambang emas di Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi.

Pencantuman sumbangan dari perkumpulan Golfer TBIG dan TRG patut diduga sebagai upaya menyamarkan sumber pendanaan yang berasal dari bisnis tambang, yang dalam proses aktivitasnya bukan tanpa masalah.

Keterkaitan dan keterlibatan langsung dalam bisnis tambang, hingga sumber dana kampanye dari kedua pasangan calon yang sebagiannya sama-sama berasal dari industri tambang menunjukkan betapa Pilpres 2019 sangat kental dengan kepentingan industri tambang. Kepentingan ini terkait dengan upaya memastikan kenyamanan investasi tambang yang sedang berjalan sekaligus membuka investasi serupa yang baru, serta terhindar dari upaya penegakan hukum.

Bahkan dalam kasus tambang emas Tumpang Pitu, baik Luhut Binsar Pandjaitan, Wahyu Sakti Trenggono maupun Sandiaga Uno sama-sama memiliki hubungan bisnis dalam jejaring kepemilikan tambang emas di Tumpang Pitu. Relasi politik dan bisnis yang melibatkan orang-orang penting ini, menjadi sangat mungkin penegakan hukum tak akan berjalan, bahkan sebaliknya akan dengan mudah mematikan resistensi warga, seperti yang terjadi pada Budi Pego dan warga lainnya di Banyuwangi yang dikriminalisasi.

Contoh lain ihwal tumpulnya penegakan hukum dalam sektor tambang, bisa ditemukan dalam kasus yang melibatkan perusahaan milik Luhut Binsar Pandjaitan di Kalimantan Timur yang, tercatat terlibat dalam perampasan tanah-tanah kelompok tani di Desa Sungai Nangka, Kecamatan Muara Jawa, Kabupaten Kutai Kartanegara. Selain itu, PT Adimitra Baratama Nusantara (ABN), Kutai Energi, dan Trisensa Mineral Utama yang semuanya anak perusahaan Toba Bara Group tercatat meninggalkan 36 lubang tambang, bahkan Adimitra telah menyebabkan rumah-rumah amblas akibat aktivitas tambang yang terlampau dekat dengan pemukiman.

“Sejumlah perusahaan ini tetap beraktivitas, bahkan oleh rezim Jokowi – Kalla, konsesi tambang milik PT BSI dan PT DSI di Tumpang Pitu malah menjadi kawasan objek vital nasional, polisi menjaga keamanannya 1 x 24 jam sehari,” kata Merah.

Relasi bisnis dan politik antara elit politik dan pebisnis tambang ini, juga ditemukan dalam kasus tambang di pulau-pulau kecil. Keberadaan tambang di 55 pulau kecil di Indonesia, terutama Pulau Gebe, Pulau Gee, dan Pulau Wawoni di Maluku Utara tak terlepas dari sosok Fachrul Razi, yang tergabung dalam Tim Bravo 5. Fachrul Razi tercatat memegang posisi Presiden Komisaris di PT Central Proteina Prima dan Komisaris Utama PT Aneka Tambang TBk. Fachrul yang juga merupakan Komisaris PT Toba Bara Sejahtra Tbk, bahkan memiliki saham di Antam yang menambang pulau-pulau kecil.

Menurut Merah, harapan masyarakat di daerah lingkar tambang untuk bisa keluar dari krisis dan masalah tampaknya jauh panggang dari api. Pilpres 2019, dengan keterlibatan para pebisnis tambang berpotensi besar membuka lebar krisis dan masalah semakin parah.

“Jadi, siapapun yang menang dalam Pilpres 2019, rakyat tetap berada di pihak yang kalah, menanggung risiko akibat praktik eksploitatif, sedangkan pebisnis tambang, berikut elit politik terkait, tetap menang, melanjutkan ekstraksi untuk keuntungan diri dan kelompok mereka,” tandas Merah. (RA)