DEFISIT neraca perdagangan terus menjadi sorotan, meskipun telah berlangsung dalam waktu cukup lama baru beberapa tahun ini menjadi perhatian serius. Sektor migas dianggap sebagai aktor utama dibalik kondisi tersebut. Maklum saja migas jadi biang kerok lantaran impor minyak mentah ataupun produknya terus meningkat untuk memenuhi pertumbuhan konsumsi masyarakat.

Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari-Oktober 2019 neraca perdagangan Indonesia masih defisit US$1,79 miliar. Defisit berasal itu berasal dari ekspor US$139,1 miliar dan impor US$ 140,9 miliar.

Secara kumulatif sektor migas juga masih defisit sebesar US$7,27 miliar, sedangkan sektor nonmigas tercatat surplus US$5,48 miliar.

Pemerintah pun mulai mencari berbagai alternatif untuk bisa menekan tingginya impor. Salah satu penyumbang impor yang tinggi adalah LPG dengan kebutuhan rata-rata mencapai 6 juta-7 juta ton per tahun, 70% diantaranya harus didatangkan dari luar negeri atau diimpor lantaran keterbatasan produksi LPG dalam negeri.

Jaringan gas rumah tangga (Jargas) pun muncul sebagai solusi mengatasi tingginya impor LPG. PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) sebagai subholding migas dibawah naungan PT Pertamina (Persero) tentu menjadi badan usaha andalan untuk membangun jargas rumah tangga.

Saat ini jumlah jargas yang sudah terbangun boleh dibilang masih sedikit karena baru mencapai 564.445 Sambungan Rumah Tangga (SR). Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 telah ditetapkan bahwa pada 2025 harus sudah terbangun jargas mencapai 4,7 juta SR.

Terbaru bahkan pemerintah berniat mempercepat pembangunan jargas. Tahun 2025 nanti tidak hanya 4,7 juta SR,  tapi targetnya menjadi 10 juta SR.

Gigih Prakoso, Direktur Utama PGN,  mengungkapkan dalam rencananya pemerintah menargetkan membangun 30 juta SR hingga 2035. PGN sendiri optimistis bisa mengemban tugas untuk menyalurkan gas ke rumah tangga. Untuk lima tahun ke depan pembangunan 10 juta SR sangat dimungkinkan.

“Kementerian ESDM itu 30 juta SR sampai 2035, tapi untuk 5 tahun – 6 tahun pertama paling bisa bikin 10 juta SR,” kata Gigih ditemui di Jakarta, Kamis (28/11).

Biaya pembangunan jargas selama ini menjadi kendala karena terlalu mengandalkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Namun untuk kedepan peran PGN dan pihak investor atau swasta akan diperluas.

Gigih menuturkan bahwa akan ada skema pembiayaan yang diterapkan selain APBN ada juga penggunaan dana internal PGN serta skema Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU).

PGN sendiri akan mulai membangun masif jargas melalui kerja sama dengan PT PP (Persero). Total pembangunan jargas dari sinergi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencapai 500 ribu SR hingga 2021.

Konsep KPBU nantinya diharapkan jadi konsep yang paling banyak menyumbangkan dana segar untuk pembangunan jargas.

“KPBU ini seperti investor yang bangun dijamin oleh pemerintah kalau keekonomiannya kurang. Kalau keekonomian sudah pas tidak ada jaminan, jadi nanti yang bangun investor,” kata Gigih.

Posisi PGN jika skema KPBU digunakan adalah sebagai pemilik alokasi gas. Nantinya PGN akan membayar biaya sewa pipa tersebut. Jika dianalogikan posisi PGN seperti halnya PT PLN (Persero). Selama ini PLN tidak memproduksi listrik secara keseluruhan melainkan membeli listrik dari produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) baru kemudian dijual kepada masyarakat.

“Iya persis (IPP dan PLN), kami nanti posisinya adalah sebagai pemakai pipa tersebut alokasi gasnya diberikan ke kami.  Jadi yang jualan kan tetap PGN,” ujar Gigih.

Untuk urusan harga jual ke masyarakat sudah ada aturan terkait jargas sehingga dipastikan akan lebih murah ketimbang LPG. Berdasarkan aturan yang ada untuk harga gas dari hulu untuk jargas dipatok sebesar US$ 4,72 per MMBTU sementara untuk di hilir atau harga jual kepada masyarakat ditetapkan sebesar Rp 4.250 per M3 untuk golongan Rumat Tangga (RT) 1 dan Rp 6.000 per M3 untuk golongan RT 2.

Agar harga gas memenuhi keekonomian infrastruktur jargas nantinya tidak hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga tapi juga dipasarkan untuk sektor komersial seperti industri, pusat pertokoan, perhotelan dan pembangkit listrik.

“Kami tidak hanya lihat cuma rumah tangga itu, begitu bangun pipa kan kita pakai komersial, bisa pakai untuk industri, listrik. Pokoknya kita lihat secara terintegrasi,” ujar Gigih.

Saat ini roadmap pembangunan 10 juta SR jargas sedang dibahas dengan Kementerian ESDM. PGN dipastikan akan melakukan penetrasi di wilayah yang sudah memiliki sambungan jargas, sehingga akan lebih efektif.

PGN juga sedang berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan terkait mekanisme KPBU karena ada beberapa tahapan yang harus dilalui. Pertama adalah kajian pelaksanaan pembangunan jargas yang dilanjutkan dengan market sounding. Dalam proses ini akan dilihat seberapa besar minat para investor. Ketika minat para investor telah terlihat langkah selanjutnya adalah menyusun Term Of Reference (TOR) atau Kerangka Acuan Kerja.

Gigih berharap proses pembangunan 10 juta SR jargas ini bisa mulai dilakukan pada pertengahan tahun depan sehingga tender bisa dilakukan paling lambat pada tahun 2021. “Harusnya pertengahan tahun depan sudah mulai berjalan, start, supaya nanti 2021 sudah bisa jalan,” kata Gigih.

Dengan tingginya produksi gas nasional namun lebih banyak di ekspor memang cukup disayangkan potensi gas ini tidak dimanfaatkan secara optimal.

Gus Irawan Pasaribu, Wakil Ketua Komisi VII DPR, mengungkapkan PGN akan memegang peranan penting dalam mengejar target pembangunan jargas.

“Secara teknis past PGN mampu, karena hal ini sudah banyak mereka lakukan. Bila APBN pun tidak cukup, bisa dikakukan dengan KPBU. PGN sebagai leadernya dengan kerja sama dengan Investor,” kata Gus Irawan saat dihubungi Dunia Energi.

Satu poin penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah adalah terkait pasokan gasnya.

“Pertanyaannya disediakan tidak alokasi gasnya??. Karenya disektor gas ini perlu segera dibuat kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), sebagaimana juga di sektor Batu bara,” ujarnya

Ali Ahmudi, Pengamat Energi dari Universitas Indonesia dan peneliti Center for Energy and Food Security Studies (CEFSS) menuturkan bahwa dalam bauran energi nasional (energy mix) tahun 2018 lalu, proporsi penggunaan gas sebesar 19,7%. Proyeksi bauran energi th 2025, gas diroyeksikan sebesar 22%. Ini berarti harus ada peningkatan signifikan proporsi gas. Konsekuensinya pemerintah dan semua pihak terkait, khususnya BUMN energi harus bekerja keras mencapainya.

PGN, kata Ali memang wajar menjadi pemain utama dalam program jargas. Tahun 2025 PGN merencanakan untuk bangun 4,7 juta SR dengan kebutuhan gas mencapai 80 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Jika target ini harus ditingkatkan menjadi 10 juta SR maka PGN setidaknya harus menyiapkan 160 MMSCFD. “Sumber pasokan gas itu harus dipikirkan secara mendalam dan konkret,” kata Ali kepada Dunia Energi.

Selain itu pemerintah harus memberikan dukungan penuh kepada PGN terkait penyediaan infrastruktur gas. PGN tidak bisa dilepas begitu saja mencari pendanaan untuk membangun infrastuktur gasnya.

Selain itu, pemerintah kata Ali harus bisa melakukan edukasi terhadap masyarakat mengenai pentingnya penggunaan jargas . “Hal yang tidak boleh dilupakan adalah mengedukasi masyarakat untuk bersiap menghadapi perubahan, termasuk mengganti LPG dengan gas kota yang lebih hemat, aman dan terjamin pasokannya,” kata Ali.

Ego Syahrial, Sekretaris Jendral Kementerian ESDM, menegaskan target menuju 10 juta sambungan jargas memang tidak mudah karena dari sisi pendanaan juga negara masih harus bersaing dengan beberapa pembangunan infrastruktur lainnya seperti jalan. Selain itu dari dukungan dari daerah juga sangat diperlukan dalam program jargas.

“Kita kan tidak mudah bangun jargas, bangun jalan lah, rel kereta lah pemda belom dukung lah. Tapi ya kan kita tetep kerjain (bangun),” kata Ego.(Rio Indrawan)