PT Perusahaan Gas Negara Tbk atau PGN hampir dipastikan akan menjadi subholding gas, dibawah holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor migas yang dibentuk  pemerintah. Ketika segala urusan administrasi nanti dirampungkan maka PGN akan menjadi satu-satunya entitas bisnis midstream dan downstream gas terbesar di Indonesia, sekaligus menandakan dimulainya era baru dalam industri serta pengelolaan gas nasional.

Tidak berlebihan jika era baru tata kelola gas dimulai. Pasalnya dengan menjadi subholding gas maka seluruh aset yang dimiliki PT Pertamina Gas (Pertagas) yang diakuisisi PGN akan menjadi milik PGN.

Pertagas sendiri sampai sekarang tercatat memiliki 44 ruas pipa open access dengan total panjang lebih dari 2.300 km. Tidak hanya itu, Pertagas juga sudah memiliki fasilitas pemrosesan LPG dan produk ekstraksi lainnya melalui LPG Plant di Pondok Tengah, Jawa Barat dan NGL Plant di Sumatera Selatan, kemudian memiliki fasilitas regasifikasi LNG di Arun, Lhoksmawe, Aceh.

Pertagas  juga memiliki fasilitas transportasi minyak dari ruas Tempino – Plaju dengan total panjang lebih dari 260 km. Pertagas sudah mulai kembangkan bisnis  CNG, Mini LNG Plant, LNG for Vehicle Independent Power Producer (IPP) serta jaringan gas kota.

Dengan adanya tambahan infrastruktur milik Pertagas maka PGN akan menguasai sebagian besar infrastruktur dan fasilitas pengelolaan, transmisi serta distribusi gas nasional.

Berdasarkan data PGN yang diterima Dunia Energi, setelah integrasi berjalan efektif nanti, maka jaringan pipa subholding gas dibawah komando PGN akan menjadi sepanjang 9.677 km. Selain itu, juga ada fasilitas lainnya selain pipa seperti regasifikasi terminal. Setidaknya akan ada tiga regasifikasi terminal yang bisa langsung bisa dimanfaatkan.

Tidak hanya itu, sinergi juga bisa terjadi dengan pengoperasian 66 Stasiun Pengisian Bahanbakar Gas (SPBG) serta pengelolaan jaringan gas kota sebanyak 339 ribu sambungan.

Sinergi pengelolaan antara PGN dan Pertagas tersebut menjadikan infrastruktur gas yang dikelola subholding gas mencakup 96% dari total seluruh infrastruktur hilir gas bumi indonesia dengan total pengelolaan gas kurang lebih sebesar 3 Bcfd.

Gigih Prakoso, Direktur Utama PGN, mengatakan model pengelolaan infrastruktur gas kedepan adalah integrasi infrastruktur dan aggregasi komersial. “Tujuannya adalah konektivitas dan fleksibilitas penyaluran serta tarif atau harga yang lebih berimbang antar wilayah,” Gigih saat dihubungi Dunia Energi, Rabu (12/12).

Kemudian untuk program kedepannya, subholding gas lanjut Gigih akan berfokus penguatan portofolio perusahaan untuk memperkuat bisnis utama di bidang hilir gas. Tidak hanya itu, subholding juga dipastikan akan fokus pada pengembangan infrastruktur hilir gas.

“Ini sejalan dengan target pemerintah untuk pemenuhan gas bumi di seluruh segmen dalam negeri,” kata dia.

Alimuddin Baso, Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan ada harapan perbaikan tata kelola gas dengan adanya holding migas. Seiring sinergi antar dua entitas PGN dan Pertagas maka kerumitan tata kelola gas bisa terurai pun demikian dengan efisiensi yang diimpikan dalam industri gas bisa terwujud.

“Kalau seluruh satu kelola terintegrasi harusnya memang lebih efisien, kan konsepnya seperti itu,” ungkap Alimuddin.

Strategi Bisnis

Achmad Widjaja, Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Hulu dan Petrokimia, mengatakan holding migas dengan sinergi PGN dan Pertamina kedepan disarankan untuk mengubah strategi bisnisnya. Pembagian tugas antar lini bisnis dengan masuknya Pertagas menjadi bagian PGN harus diperjelas.

Pertama, PGN bisa fokus pada pipanisasi dengan open access. Pertagas bisa meneruskan lini bisnis niaga gas. “Pertagas fokus ke retail atau eceran gas station maupun pelayanan pelanggan skala kecil,” kata Achmad.

Subholding migas lanjut Achmad juga harus bisa terus berinovasi, baik dari produk gas ataupun strategi pengembangan pemasaran.

“Menuju fokus CNG ke industri kecil menengah menggantikan solar kedepannya dan mulai fokus angkut LNG dari timur ke barat dengan vessel dan utilisasi tol laut dalam proses mempermudah infrastruktur,” ungkap Achmad.

Menurut Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute,  secara konsep sinergi dalam holding migas tentu bisa memotong rantai pasokan gas.

Dengan integrasi infrastruktur jaringan gas yang dimiliki PGN dan Pertagas, minimal rantai distribusi gas menjadi tidak terlalu panjang.  Sehingga bisa juga berdampak langsung terhadap perekonomian dalam skala nasional.

“Kalau harga gas lebih murah tentu industri pengguna akan lebih kompetitif. Pada akhirnya produksi barang dan jasa akan meningkat,” kata Komaidi.(Rio Indrawan)